Pada artikel sebelumnya yang berjudul ' Bagaimana Cara Pensiunan Mempersiapkan Diri Menghadapi Resiko Inflasi ', kita telah membahas cara-cara yang dapat diambil oleh pensiunan untuk menghadapi resiko inflasi pada masa pensiun.
Seperti yang sudah kami jelaskan sebelumnya, resiko yang lebih dominan yang dihadapi oleh pensiunan adalah resiko inflasi, bukan resiko deflasi. Resiko inflasi membuat Dana Pensiun yang telah dikumpulkan seseorang selama masa aktif bekerja, daya belinya akan berkurang.
Resiko inflasi ini, ketika seseorang telah memasuki masa pensiun, dapat diatasi dengan melakukan tiga hal, yaitu:
- Masukkan faktor inflasi ke dalam perencanaan pengeluaran ( expenses ) pada masa pensiun
- Melakukan diversifikasi investasi aset-aset Dana Pensiun terhadap resiko inflasi
- Melihat resiko inflasi dari sudut pandang jangka panjang.
Pada artikel kali ini, kita akan membahas bagaimana caranya supaya seorang karyawan yang sedang dalam tahap menabung Dana Pensiun bisa melindungi tabungannya dari resiko yang ada?
Perlu diingat bahwa resiko yang dihadapi oleh seorang karyawan yang masih aktif bekerja, di samping resiko inflasi, adalah resiko deflasi. Resiko inflasi membuat harga-harga barang dan jasa menjadi lebih mahal.
Sebaliknya, resiko deflasi (negatif inflasi) adalah resiko bahwa harga-harga barang dan jasa turun sehingga membawa berbagai dampak negatif bagi pelaku pasar (konsumen, produsen, dan pemerintah).
Dapat dikatakan di sini, bagi seorang karyawan yang masih aktif bekerja, resiko yang lebih dominan adalah resiko deflasi. Deflasi seringkali diikuti dengan turunnya daya beli konsumen dan tidak berjalannya proses produksi dari produsen, yang kemudian diikuti dengan PHK massal.
Resiko deflasi sering berakibat sangat merugikan bagi perekonomian suatu negara dan resiko deflasi sulit untuk diputus oleh pemerintah baik dengan tindakan fiskal maupun moneter.
Walau pun demikian, bagi karyawan yang masih aktif bekerja, resiko inflasi masih sangat nyata. Deflasi tidak dapat berlangsung bersamaan dengan inflasi. Jadi, jika perekonomian tidak sedang mengalami deflasi, dapat dipastikan bahwa perekonomian sedang mengalami inflasi.
Inflasi dalam jumlah yang wajar ( demand pull inflation ) sebenarnya bagus untuk perekonomian karena menunjukkan menunjukkan bahwa daya beli konsumen yang meningkat.
Inflasi yang buruk, apalagi hyper-inflation, adalah inflasi yang disebabkan oleh kenaikan ongkos produksi ( cost push inflation ), misalnya kenaikan ongkos produksi yang terjadi akibat adanya gangguan ( disruption ) pada pasokan bahan baku akibat bencana alam.
Penyebab inflasi yang buruk lainnya adalah kondisi inflasi akibat lemahnya kurs mata uang negara kita ( imported inflation ), karena harga-harga barang dan jasa yang diimpor menjadi lebih mahal.
Jadi, bagi seorang karyawan yang masih aktif bekerja, ada dua resiko yang harus dihadapinya dalam perencaan pensiun, resiko inflasi dan resiko deflasi. Bagaimanakah caranya karyawan yang sedang merencanakan masa pensiunnya dapat menghadapi kedua resiko ini?
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, resiko inflasi tidak pernah terjadi bersamaan dengan resiko deflasi. Jika terjadi resiko deflasi, di mana harga-harga barang dan jasa mengalami penurunan, maka bagi seorang karyawan, ancaman terbesarnya adalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Jika terjadi PHK, maka tidak ada lagi aliran dana ke dalam JHT (Jeminan Hari Tua) dan TDPP (Tabungan Dana Pensiun Pribadi). Portofolio JHT dikelola oleh BPJS -TK (Badan Pengelola Jaminan Sosial-Tenaga Kerja) yang sama sekali berada di luar kontrol kita.
Dana Pensiun yang dapat kita kontrol hanyalah tabungan yang telah kita setorkan dalam TDPP kita. Perlu diingat bahwa TDPP bukanlah lembaga resmi untuk mengelola Dana Pensiun. TDPP adalah semua akun yang kita buka, atas nama kita sendiri, sebagai pengganti rekening IRA ( Individual Retirement Account ) di USA.
Mengingat bahwa resiko deflasi tidak sering terjadi, dan resiko deflasi tidak berkepanjangan sampai bertahun-tahun, maka sejauh kita tidak mengantisipasi terjadinya crash pada pasar modal, kita sebaiknya tidak melakukan apa-apa terhadap portofolio kita yang sudah ada.
Pada portofolio investasi kita yang berada di pasar modal (berupa saham atau obligasi), maka harga-harga saham dan obligasi mungkin akan sedikit terkoreksi, tetapi jika tidak terjadi crash pada pasar saham atau pasar obligasi, maka penurunan pada harga nominal saham atau obligasi itu masih bisa diimbangi dengan kenaikan harga riil (daya beli) dari hasil penjualan saham atau obligasi tersebut.
Pada portofolio investasi berupa komoditi atau emas, harga relatif stabil (tidak naik dan tidak turun) atau mengalami sedikit penurunan, tetapi nilai riil komoditi atau emas itu akan naik karena rupiah hasil penjualan akan memiliki daya beli (sementara) yang lebih besar pada kondisi deflasi.
Sebaliknya, pada pasar properti (tanah dan bangunan), harga-harga dapat terkoreksi dengan tajam. Pada kondisi deflasi yang ekstrim (seperti yang sedang terjadi di China dan Hongkong saat ini), harga-harga properti dapat terkoreksi sampai 50% dan tetap sulit menemukan pembeli yang bersedia mengambil properti tersebut.
Resiko deflasi, bergantung pada portofolio investasi kita, dan juga pada seberapa parah deflasi yang terjadi. Resiko deflasi umumnya tidak memerlukan perlakuan istimewa berupa penjualan pada satu kelas aset dan pembelian kelas aset yang lainnya.
Bagaimana pun juga, resiko deflasi, walau pun secara nominal pemodal mengalami kerugian, tetapi secara riil pemodal diuntungkan oleh naiknya daya beli rupiah hasil penjualan aset tersebut.
Resiko deflasi, walau pun dampaknya lebih buruk daripada resiko inflasi, juga umumnya hanya berlangsung dalam beberapa bulan saja. Selebihnya, yang terjadi dalam perekonomian, adalah resiko inflasi yang terjadi terus-terusan.
Selanjutnya kita akan berfokus pada resiko inflasi saja. Bagi seorang karyawan yang sedang menabung Dana Pensiun, resiko inflasi terutama terjadi ketika Dana Pensiun hanya disimpan dalam istrumen obligasi (umumnya obligasi di Indonesia diterbitkan dengan bunga kupon tetap atau fixed rate ) dan instrument berpendapatan tetap lainnya, atau pada reksadana pendapatan tetap.
Ketika terjadi inflasi, suku bunga di pasar akan naik mengikuti tingkat inflasi (dan faktor-faktor resiko lainnya, seperti risk rating and term to maturity ). Jika suku bunga yang diminta pasar menjadi lebih besar daripada suku bunga yang diberikan oleh kupon obligasi itu, maka harga obligasi pun akan jatuh di bawah nilai par-nya.
Dalam ilmu keuangan, dikatakan bahwa kenaikan harga obligasi berbanding terbalik dengan kenaikan suku bunga pasar. Jika suku bunga (yang diminta pasar) naik, maka harga obligasi akan turun. Demikian sebaliknya, jika suku bunga (yang diminta pasar) turun (akibat dari turunnya laju inflasi), maka harga obligasi pun akan naik di atas nilai par-nya.
Cara yang mudah untuk membayangkan hubungan antara suku bunga dengan harga pokok obligasi ini adalah dengan mengambil contoh obligasi yang berada pada harga par (100% dari nilai pokok) dan jatuh temponya tinggal satu tahun lagi.
Pada permulaan hari, harga obligasi itu sama dengan nilai par-nya. Artinya, besarnya suku bunga yang diminta pasar sama dengan besarnya kupon obligasi. Katakanlah untuk obligasi yang jatuh temponya tinggal satu tahun dan resikonya sama, tingkat bunga yang diminta pasar adalah 10%.
Jika satu hari kemudian, tiba-tiba terjadi lonjakan pada tingkat inflasi ( unexpected inflation ) sehingga tingkat bunga yang diminta pasar untuk obligasi sejenis (untuk term to maturity dan risk rating yang sama) naik menjadi 12%, maka penjual obligasi tersebut harus mengkompensasi pembeli sebesar 2% dengan menurunkan harga jual menjadi 98 rupiah.
Demikian selanjutnya, jika jangka waktu obligasi tersebut sampai dengan tanggal jatuh temponya ( all other things equal ) makin jauh, maka makin besar pula penurunan harga obligasi tersebut.
Untuk keperluan perencanaan pensiun, bagi subjek perencanaan pensiun yang masih aktif bekerja, walau pun ada resiko inflasi tetaplah berinvestasi di instrumen ekuitas (saham-saham). Biar bagaimana pun, instrumen ekuitas merupakan sarana yang baik untuk lindung nilai ( hedge ), karena harga saham-saham cenderung naik mengikuti naiknya tingkat inflasi.
Hal yang sebaliknya dapat dikatakan bagi pemodal obligasi dan instrumen pendapatan tetap lainnya. Harga-harga obligasi (yang membayar kupon fixed rate ) akan bergerak turun ketika laju inflasi makin tinggi.
Dalam perencanaan pensiun, ketika subjek perencanaan pensiun masih berada dalam tahap akumulasi, dan usianya masih muda (jauh dari pensiun), porsi investasi dalam instrument ekuitas dapat diperbesar. Porsi investasi dalam instrumen ekuitas dapat perlahan-lahan diturunkan dan porsi investasi dalam instrumen berpendapatan tetap dinaikkan menjelang masa pensiun.
Instrumen pendapatan tetap memang bukan sarana untuk lindung nilai, tetapi selama tingkat inflasi yang terjadi telah diantisipasi ( expected inflation ) oleh pelaku pasar, maka instrumen pendapatan tetap akan memberikan keuntungan kepada pemodal sesuai dengan tingkat kupon obligasi itu ( yield to maturity ).
Oleh: Fredy Sumendap, CFA
Sumber : IPS
powered by: IPOTNEWS.COM