News & Research

Reader

Greenpeace: Co-firing PLTU Batubara Cuma Solusi Semu Emisi Gas Rumah Kaca
Tuesday, September 29, 2020       16:14 WIB

Ipotnews - Greenpeace Indonesia menilai, pemanfaatan biomassa sebagai campuran batubara untuk bahan baku Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) atau co-firing yang disebut-sebut sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, adalah hal yang keliru dan merupakan solusi semu.
Menurut peneliti iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, sejauh ini bahan baku sampingan yang digunakan untuk co-firing adalah sampah dan limbah hasil perkebunan, seperti cangkang sawit (palm kernel shell/PKS), namun penggunaan sampah dan PKS justru berpotensi menambah permasalahan baru.
"Akar masalah dari besarnya emisi gas rumah kaca (GRK) kita adalah keberadaan PLTU itu sendiri. Indonesia seharusnya langsung melakukan lompatan besar dari PLTU batubara ke energi bersih dan terbarukan," ujar Adila dalam keterangan resmi Greenpeace yang dilansir di Jakarta, Selasa (29/9).
Berdasarkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia, sektor energi diproyeksikan menjadi kontributor emisi terbesar pada 2030, menyusul sektor kehutanan. Di sektor kelistrikan nasional, pembangkit batubara masih mendominasi sebesar 62 persen.
Jumlah PLTU pun masih akan terus bertambah, baik itu memperbesar kapasitas yang sudah beroperasi (28.000 MW) maupun pembangunan PLTU baru (27.000 MW). Sehingga, kata Adila, jika ingin mencapai penurunan emisi GRK secara signifikan, maka satu-satunya solusi adalah bertransisi ke energi bersih dan terbarukan.
Pada dasarnya, kata dia, pemerintah sudah memiliki target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025, namun realisasinya masih jauh dari target. "Saat ini laju pertumbuhan EBT hanya mencapai 500 MW/tahun atau hanya akan mencapai penambahan sebesar 2.500 MW di 2025. Sedangkan, untuk mencapai target bauran 23 persen di 2025 dibutuhkan 10.000 MW tambahan kapasitas EBT yang harus dikejar dalam empat tahun," paparnya.
Adila menjelaskan, salah satu sumber energi terbarukan yang berlimpah adalah energi surya, yaitu sebesar 200 GWp, tetapi baru dimanfaatkan sebesar 0,02 perseb. Padahal, biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya ( PLTS ) telah mengalami penurunan yang sangat pesat, bahkan lebih murah dibandingkan dengan PLTU batubara.
Lebih lanjut dia menyebutkan, penurunan emisi GRK pada sektor energi tidak akan bisa ditekan dengan co-firing. Porsi sampah dan limbah hasil hutan hanya 1-5 persen, sedangkan sisanya yang 95 persen tetap menggunakan batubara.
Hasil penelitian menunjukkan, pencampuran 5 persen co-firing hanya akan mengurangi emisi GRK pada PLTU batubara sebesar 5,4 persen. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh PT PLN (Persero), dibutuhkan 5 juta ton wood pellet per tahun atau 738.000 ton pellet sampah per tahun hanya untuk memenuhi kebutuhan 1 persen co-firing per tahun pada 18.000 MW PLTU batubara yang sudah ada.
Dengan demikian, kata Adila, target PLN untuk penerapan co-firing sebesar 10 persen, maka volume sampah maupun PKS yang dibutuhkan akan lebih besar. Terkait sampah, lanjut dia, pemerintah sudah mencobanya pada PLTU Jeranjang, Lombok dengan memanfaatkan sampah dari TPA Kebon Kongok.
Penggunaan sampah ini tidak akan menyelesaikan krisis sampah khususnya plastik dan berpotensi menurunkan efisiensi boiler PLTU . Komposisi sampah yang masih didominasi sampah sisa rumah tangga dan belum adanya sistem pemilahan yang baik, semakin memperkuat alasan mengapa sampah bukanlah pilihan yang tepat sebagai sumber energi alternatif.
Dari sisi polusi udara, menurut Adila, penggunaan co-firing dengan tujuan mengurangi emisi berbahaya dari PLTU batubara, tentu tidak akan maksimal jika tidak didorong dengan teknologi air pollution control (APC) yang baik. Selain itu, pencampuran pellet kayu dan sampah pada PLTU sebagai bahan bakar yang tidak disertai dengan pengelolaan emisi dengan baik, tentunya akan menghasilkan polutan beracun.
Saat ini, regulasi emisi PLTU batubara belum dapat memaksa penggunaan teknologi APC bagi seluruh pembangkit. Di sisi lain, penggunaan teknologi APC pun mulai menuai keluhan akibat mahalnya biaya retrofit yang harus dikeluarkan oleh PLTU , karena akan berujung pada kenaikan tarif listrik apabila tidak dibantu dengan subsidi dari pemerintah.
Adila menambahkan, kebutuhan cangkang sawit untuk PLTU pun berpeluang menambah pembukaan lahan sawit yang pada akhirnya menghasilkan jejak karbon cukup besar. Dia menilai, perkebunan sawit dan pertambangan batubara di Indonesia adalah penyebab deforestasi utama yang melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar pada proses pembukaan lahan.
"Upaya co-firing merupakan solusi keliru dan semu untuk memenuhi komitmen iklim Indonesia. Pembakaran untuk menghasilkan listrik akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Selain itu, bila pemerintah tetap mempertahankan penggunaan batubara, maka Indonesia akan semakin sulit menepati komitmen iklim dalam NDC," tutur Adila.
(Budi)

Sumber : admin

powered by: IPOTNEWS.COM