Ipotnews - Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengapresiasi langkah cepat pemerintah yang melarang media sosial (Medsos) menjalankan bisnis seperti layaknya e-commerce yang dilakukan secara bersamaan.
Menurut Bhima, media sosial yang menjalankan praktik bisnis secara daring yang dilakukan bersamaan berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat. Oleh sebab itu penetapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ( PMSE ) patut diapresiasi.
"Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," kata Bhima dalam keterangannya, Senin (2/10).
Bhima menambahkan pemisahan antara bisnis dan media sosial diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data. Penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda. Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.
Tak hanya itu, sebuah platform juga tidak bisa lagi memanfaatkan algoritma media sosialnya untuk berjualan. "Setidaknya algoritma media sosial tidak diarahkan untuk kepentingan penjualan barang di e-commerce," ujar Bhima.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (MenKopUKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari menjelaskan, tentang bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan. Setidaknya ada empat alasan mengapa praktik bisnis oleh media sosial secara berbarengan.
Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna. Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.
"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki dalam keterangannya.
Kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.
"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," tegas Fiki.
Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.
Keempat, perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. Karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.
"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," kata Fiki. (Marjudin)
Sumber : admin
powered by: IPOTNEWS.COM