224 Kandidat Vaksin Covid-19 dalam Pengembangan, 60 Persen Uji Coba pada Manusia Dilakukan di China
Sunday, May 24, 2020       16:09 WIB

Ipotnews - Data yang dikumpulkan Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (Cepi) mengungkapkan, saat ini ada 224 kandidat vaksin virus korona yang berada dalam tahap pengembangan.
Perlombaan perusahaan farmasi dunia untuk membuat vaksin untuk sementaraa dipimpin China. Tim peneliti China menyumbang 60 persen dari kandidat vaksin yang saat ini dalam uji coba manusia.
Data baru yang diperoleh oleh Sunday Telegraph mengungkapkan, bahwa sekarang sudah mencapai 224 vaksin dalam pengembangan di seluruh dunia - hampir dua kali lipat dari total sebulan yang lalu.
Data yang dikumpulkan Cepi mengungkapkan, sementara ini Amerika Utara memiliki jumlah proyek vaksin terbesar yang sedang berjalan, terhitung mencapai 49 persen dari total dunia. Kendati demikian China terhitung sebagai yang terjauh dalam jalur pengembangannya.
Dari 10 kandidat vaksin yang telah maju ke uji coba manusia secara global, enam diantaranya dilakukan oleh para peniliti China. China juga menjadi sat-satunya negara yang sekarang ini memiliki kandidat kuat ke uji coba Tahap II.
Vaksin tersebut sedang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi China, CanSino Biologics dan Institut Bioteknologi Beijing. Vaksin ini menggunakan desain "non-replikasi virus-vektor" mirip dengan yang dikembangkan oleh Universitas Oxford di Inggris.
Hasil uji coba Fase I itu dilaporkan di The Lancet pada Jumat, lalu. "Uji coba pertama-dalam-manusia ini menunjukkan bahwa [ adenovirus   five ] vaksin V5 Covid-19 Ad5 dapat ditoleransi dan imunogenik pada orang dewasa yang sehat," ungkap Lancet.
Vaksin dosis tinggi mendorong respons imun yang lebih kuat tetapi juga berkaitan dengan efek samping yang lebih besar. "Demam parah, kelelahan,  dyspnoea , nyeri otot, dan nyeri sendi dilaporkan pada beberapa penerima dalam kelompok dosis tinggi," uangkap penelitian itu.
Kandidat terkemuka lainnya, termasuk yang sedang dikembangkan oleh Sinovac Biotech di Cina, Pfizer dan BioNTech di Jerman, Moderna Pharmaceuticals di AS dan Oxford University dan AstraZeneca di Inggris.
Dr Melanie Saville, direktur pengembangan vaksin Cepi mengatakan, ia tergerak oleh banyaknya kandidat vaksin yang sedang dikembangkan, karena pada akhirnya akan diperlukan lebih dari satu vaksin untuk menutup kebutuhan populasi dunia.
Dia menandai perlombaan global - terbesar dalam sejarah - untuk menemukan vaksin itu, sebagai "persaingan dengan virus". Menurutnya, ada kerja sama yang baik antara para ilmuwan dan tim yang terlibat. "Kami melihat banyak momen berbagi. Perusahaan menerbitkan data ketika sudah tersedia," ujarnya, seprti dikutip The Telegraph, Minggu (24/5).
Di World Health Assembly awal pekan ini, sebagian besar negara, termasuk China, mendukung resolusi yang menyerukan pemerataan distribusi untuk vaksin apa pun sukses secara global.
Namun AS melepaskan diri dari langkah tersebut, keberatan dengan referensi yang disebut perjanjian "TRIPS". Perjanjian ini akan memungkinkan untuk wajib berbagi kekayaan intelektual yang berkaitan dengan obat-obatan dan vaksin selama keadaan darurat kesehatan.
Dalam sebuah pernyataan, misi AS ke PBB di Jenewa mengatakan, bahasa seperti itu akan menghambat inovasi dan "mengirim pesan yang salah kepada inovator yang akan sangat penting untuk solusi yang dibutuhkan seluruh dunia".
Situasi tersebut memicu kekhawatiran tentang "nasionalisme vaksin" - di mana negara-negara menolak untuk berbagi inovasi secara global.
"Transaksi sudah dibuat - misalnya oleh pemerintah AS - sehingga populasi mereka mendapatkan akses prioritas," kata Prof. Devi Sridhar, ketua Global Public Health di Universitas Edinburgh.
"WHO sedang berusaha untuk menyatukan [orang-orang] dan beberapa pemerintahan memimpin upaya ini, termasuk Prancis dan Inggris."
"Tapi yang Anda dapatkan adalah satu pemerintahan yang tidak mau bekerja sama ... berperilaku tidak pantas dan tidak bermain sesuai aturan permainan, dan itu menjadi sangat menyulitkan semua orang," Prof. Sridhar menambahkan.
Di antara karakteristik yang secara spesifik disebutkan adalah bahwa vaksin yang berhasil harus: memberikan perlindungan selama minimum enam bulan; paling tidak 50 persen efektif; dan mencegah penyakit, penyakit parah dan/atau penularan virus.
Para ahli berpikir, adalah tidak mungkin bahwa vaksin Covid-19 awal akan memenuhi "standar emas" untuk imunisasi, di mana vaksin mencegah hampir semua infeksi.
Imunisasi virus korona akan cenderung seperti suntikan flu musiman, yang mengurangi risiko infeksi antara 40 dan 60 persen, tergantung pada tahunnya.
"Sangat sedikit vaksin yang memberi Anda 100 persen perlindungan dari infeksi," kata Dr. Saville. "Mungkin bagian paling penting saat ini adalah mencegah penyakit parah sebagai langkah pertama," imbuhnya.
Data yang diterbitkan dari uji klinis hingga saat ini menunjukkan bahwa beberapa vaksin dapat mencegah penyakit kritis, termasuk pneumonia, tetapi tidak menghentikan semua infeksi Covid-19.
Sebagai contoh, meskipun kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Oxford mencegah monyet dari penderitaan penyakit parah, namun hasil awal menemukan bahwa kandungan virus dalam hidung primata yang divaksinasi, memiliki level yang hampir sama seperti pada rekan-rekan mereka yang tidak divaksinasi.
Jonathan Ball, profesor virologi molekuler di Universitas Nottingham menyerukan akn perlunya kejelasan yang lebih besar tentang bagaimana "kemanjuran" vaksin Covid-19 akan didefinisikan untuk bergerak maju.
"Jika Anda mendapat vaksin yang tidak bekerja pada kelompok rentan dan lanjut usia, tetapi juga tidak mencegah orang menularkan Sars-CoV-2, Anda belum benar-benar mendapat vaksin," ujarnya. "Ini adalah tantangan yang akan dihadapi semua orang yang mengerjakan kandidat vaksin."
Para ahli juga berkeinginan untuk "mengelola ekspektasi publik" tentang jangka waktu pemberian imunisasi. Sebagian besar mengatakan bahwa meskipun produk "percobaan" mungkin mulai tersedia bagi petugas kesehatan pada musim gugur nanti, program vaksinasi masal setidaknya masih satu tahun lagi, dan mungkin jauh lebih lama.
Kondisi ini sebagian merupakan fungsi dari kebutuhan uji coba skala besar untuk membuktikan keamanan suatu produk, namun juga karena biaya dan logistik yang rumit, terkait dengan pembuatan dan distribusi vaksin dalam skala besar.
"Biasanya dibutuhkan bertahun-tahun atau puluhan tahun untuk mengembangkan vaksin, jadi upaya yang sangat besar sedang dilakukan untuk pengembangan yang cepat," kata Dr Saville. (The Telegraph)

Sumber : Admin

powered by: IPOTNEWS.COM


Berita Terbaru

Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:54 WIB
Kepemilikan Saham 31 Maret 2024 SAGE
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:43 WIB
Kepemilikan Saham 28 Maret 2024 MENN
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:36 WIB
MHKI Targetkan Pendapatan di 2024 Tumbuh 20 Persen
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:34 WIB
BI: Keyakinan Konsumen Meningkat Pada Maret
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:29 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of POSA
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:25 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of TAMU
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:21 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of IRRA
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:17 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of MMLP
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:14 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of NINE
Tuesday, Apr 16, 2024 - 11:10 WIB
Financial Statements Full Year 2023 of LIVE