Dolar Dekati Level Terendah Tiga Tahun, Ini Faktor Pemicunya...
Friday, January 19, 2018       09:00 WIB

Ipotnews - Dolar AS bertahan di dekat level terendah tiga tahun terhadap sekeranjang mata uang, Jumat, dengan kekhawatiran mengenai kemungkinan penghentian aktivitas pemerintah ( government shutdown ) Amerika menambah tekanan.
Indeks Dolar AS berada di posisi 90,518, turun ke level 90,104, Kamis, tingkat yang terakhir terlihat pada Desember 2014, demikian laporan  Reuters , di Tokyo, Jumat (19/1). Sepanjang 2018, indeks tersebut anjlok sekitar 1,8 persen.
DPR Amerika Serikat mengeluarkan sebuah undang-undang untuk mendanai operasional pemerintah sampai 16 Februari dan menghindari penutupan lembaga pemerintahan akhir pekan ini, ketika dana yang tersedia  expires . RUU tersebut masih harus disetujui oleh Senat, dengan potensi yang tidak menentu.
"Desember, anggota parlemen harus menggolkan pemotongan pajak sehingga prosesnya terasa lancar. Tetapi kali ini risiko  government shutdown  nampaknya lebih tinggi, meski bukan skenario utama kami," kata Shinichiro Kadota, Analis Senior Barclays.
Prospek persetujuan Senat dipersulit oleh Presiden Donald Trump yang mengatakan bahwa perpanjangan pendanaan untuk Program Jaminan Kesehatan Anak (), prioritas Demokrat, tidak boleh disertakan.
Euro berada di USD1,2234, mendekati level tertinggi tiga tahun, yakni USD1,2323 yang dicapai Rabu. Setelah melesat 0,28 persen sepanjang pekan ini, mata uang tunggal itu bisa membukukan kenaikan keuntungan selama lima minggu berturut-turut.
Dolar AS diperdagangkan pada posisi 111,02 yen,  rebound  dari level terendah empat bulan, Senin, di 110,19 yen yang sudah memudar meski imbal hasil surat utang Amerika melesat.
Imbal hasil US Treasury bertenor 10 tahun naik menjadi 2,627 persen, mendekati puncaknya di Desember 2016 sebesar 2,641 persen, terpukul oleh ekspektasi mengenai rencana ekonomi Trump dalam hal pemotongan pajak dan belanja infrastruktur.
Dolar AS melemah sejak 2017 sebagian besar karena ekspektasi bank sentral, selain Federal Reserve, berupaya mengakhiri kebijakan suku bunga sangat rendah, bahkan negatif, yang mereka adopsi guna memerangi krisis keuangan global 2008 dan resesi yang mengikutinya.
"Amerika bukan lagi satu-satunya negara yang menaikkan suku bunga. Fokus pasar adalah bagaimana negara lain menghadapi normalisasi kebijakan moneter," ucap Kadota.
Banyak investor memperkirakan Bank Sentral Eropa akan mengakhiri program pembelian obligasinya akhir tahun ini.
Pengurangan kecil dalam pembelian obligasi Bank of Japan awal bulan ini sudah cukup untuk memicu spekulasi tentang kemungkinan modifikasi dalam kebijakannya, meski banyak pelaku pasar berpikir bahwa pergerakannya akan berlangsung beberapa bulan lagi.
Faktor lain yang mendasari depresiasi dolar AS adalah investor global, termasuk  sovereign wealth fund  dan bank sentral, melakukan diversifikasi kepemilikan mereka dengan mengalihkan lebih banyak dana ke mata uang lainnya.
China dan Jepang, dua kreditor Amerika terbesar, memangkas kepemilikan US Treasuries mereka pada November, menurut data Departemen Keuangan.
Menurut laporan Dana Moneter Internasional yang dirilis Desember, sejumlah bank sentral menambahkan lebih banyak mata uang berbasis non-dolar AS ke cadangan devisa mereka pada kuartal ketiga.
Bank of France, Senin, juga mengatakan bahwa pihaknya telah menahan cadangan mata uang dalam yuan, beberapa jam setelah bank sentral Jerman mengatakan ingin memindahkan sebagian dari cadangannya ke dalam mata uang China itu.
"Bank sentral di Eropa menambahkan yuan ke cadangan mereka. Dan jika China melakukan diversifikasi, beralih ke obligasi Eropa dari obligasi Amerika, itu akan menunjukkan adanya pergeseran dari sebuah rezim di mana dolar AS sangat kuat," ungkap Ayako Sera, ekonom pasar di Sumitomo Mitsui Trust Bank. (ef)

Sumber : Admin

powered by: IPOTNEWS.COM