Ipotnews - Ketika sektor perbankan Asia menghadapi puncak suku bunga global dan risiko pertumbuhan yang lebih lambat, para investor bertaruh bahwa bank-bank di India dan Indonesia memiliki profil pinjaman dan profitabilitas yang paling kuat untuk memberikan imbal hasil terbaik pada tahun depan.
Selama 18 bulan terakhir, bank-bank sentral Asia mengikuti langkah Federal Reserve AS yang mengetatkan kebijakan moneter demi memerangi inflasi. Namun kenaikan suku bunga di Asia lebih kecil dan lebih lambat, sehingga menghasilkan pendapatan bunga yang lebih baik untuk bank-bank di kawasan ini tanpa mengganggu pertumbuhan kredit.
Indeks perbankan di India, Indonesia, dan Thailand telah mengungguli indeks MSCI Asia yang lebih luas di luar Jepang, serta indeks bank S&P sejak Maret 2022, ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga.
Namun kini, ketika siklus suku bunga global yang curam mencapai puncaknya dan momok resesi membayangi, para investor menjadi selektif. Mereka juga lebih fokus pada bank-bank yang menekan biaya pendanaan sembari memperluas pinjaman.
"Harapannya adalah bahwa kita akan melihat siklus penurunan suku bunga yang ringan pada tahun depan, tidak terlalu agresif... yang secara umum akan positif untuk sektor keuangan di Asia karena akan memacu pertumbuhan pinjaman," kata Frederic Neumann, kepala ekonom Asia di HSBC , seperti dikutip Reuters, Rabu (29/11).
Neumann mengacu ke India, di mana bank-bank telah memberikan pertumbuhan kredit dua digit selama beberapa bulan terakhir. Permintaan kredit di negara dengan populasi terpadat di dunia itu meningkat, namun jumlah bank belum memadai.
Data LSEG menunjukkan, pertumbuhan kredit di bank-bank Asia diperkirakan naik dari 4,5% tahun ini menjadi 10% tahun depan. Perbankan di India dan Indonesia memimpin dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 15% dan 11%.
Analis di J.P. Morgan mengatakan bahwa bank-bank Asia, tidak termasuk bank-bank di China, telah memimpin dalam permintaan pinjaman agregat secara global. Margin bunga sudah berada di level sebelum pandemi, sebesar 2,4% pada tahun 2022,.
Menurut Xin-Yao Ng, manajer investasi ekuitas Asia di manajer investasi Inggris, abrdn, keuntungan yang mudah bagi perbankan dari kenaikan biaya pinjaman, telah berakhir, sehingga membuatnya menjadi selektif.
"Kami pikir suku bunga telah mencapai puncaknya atau mendekati puncaknya, tetapi penurunannya tidak akan terlalu curam dibandingkan dengan kenaikannya. Dengan demikian, penurunan ini akan lebih bertahap, tidak ada kejutan laba," kata Ng.
Ng menyukai bank-bank di India dan Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di kedua negara tersebut dan kemampuan perbankan untuk mempertahankan margin.
Data LSEG menunjukkan bahwa laba bank-bank di India dan Indonesia masing-masing akan tumbuh 13% dan 11% pada tahun depan. Angka tersebut hampir dua kali lipat kenaikan rata-rata 6% di seluruh sektor perbankan di Asia Pasifik.
Bank-bank besar di India seperti HDFC , ICICI, Kotak Mahindra Bank dan Axis Bank merupakan bagian utama dari portofolio Vinay Agarwal, manajer portofolio Asia dan direktur FSSA Investment Management.
Agarwal mengatakan bahwa peningkatan pendapatan yang dapat dibelanjakan di India akan membuat konsumen akan lebih dari sekedar menyimpan uang di bank. Kondisi ini membuatnya lebih memilih bank-bank yang menjadi pemimpin pasar, bahkan dalam bisnis manajemen aset dan asuransi.
Bank Central Asia (BCA) dari Indonesia "hanya berbeda kelas," kata Agarwal.
Morgan Stanley menambahkan BCA ke dalam daftar fokusnya untuk Asia-Pasifik, kecuali Jepang, pada bulan ini. Morgan Stanley menekankan kekuatan Bank BCA dalam waralaba deposito dan penetapan biaya pinjaman.
Risiko yang dihadapi para investor akan terletak pada valuasi yang tinggi dari bank-bank tersebut. HDFC dan ICICI diperdagangkan dengan price-to-book ratio (P/B) - indikator yang membandingkan harga saham dengan aset-aset yang mendasarinya - sebesar 3, sementara Axis diperdagangkan dengan rasio 2,3 dan BCA dengan rasio 5.
Angka-angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan rasio price-to-book pada indeks MSCI untuk bank-bank di seluruh negara Asia sebesar 0,9.
India dan Indonesia juga akan menghadapi pemilihan umum tahun depan, yang bisa berarti akan lebih banyak volatilitas di pasar-pasar tersebut.
Sektor perbankan yang tertinggal, berada di pasar-pasar seperti Singapura, Hongkong dan Korea Selatan. Kondisi sektor keuangan yang lebih matang dan tingkat suku bunga yang rendah di negara-negara itu mengurangi ruang gerak bank-bank untuk bermanuver dengan lebih lincah.
Ekspektasi pertumbuhan laba juga lebih rendah di pasar negara-negara itu. Sementara itu, perbankan di Australia diperkirakan akan mengalami penurunan laba sebesar 5% pada tahun 2024. Sedangkan laba di perbankan Singapura diperkirakan tidak berubah.
Analis di Morgan Stanley menulis, sektor perbankan di Korea Selatan diperkirakan akan mengalami pertumbuhan laba sebesar 4%. Sedangkan sektor perbakan di China - di mana kebijakan moneternya masih dilonggarkan - pasar masih dalam proses menilai kelanjutan tekanan pada margin bunga bersih yang berkelanjutan. Morgan masih mempertahankan penilaian underweight untuk sektor erbankan di Korea Selatan. (Reuters)
Sumber : admin
powered by: IPOTNEWS.COM