Pilpres AS = Peningkatan Volatilitas? Manfaatkan Aset Berisiko Rendah, Termasuk Obligasi RI : Ashmore
Sunday, September 27, 2020       14:16 WIB

Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri perdagangan pekan ini, (Jumat, 25/9), dengan menguat tajam sebesar 2,13% ke level 4.945. Namun dibanding akhir pekan sebelumnya, IHSG melorot 2,2%, dari posisi 5.059. Hingga akhir pekan iniinvestor asing masih mencatatkan  net outflow  ekuitas senilai USD168 juta, meski tekanan jual sudah mereda sejak dua pekan terakhir.
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat, beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi perdagangan di pasar modal dalam dan luar negeri, antara lain;
  •  Update  virus korona; setidaknya 6.978.851 kasus virus corona telah diidentifikasi di AS, menurut Universitas Johns Hopkins, menewaskan sedikitnya 202.818 orang. Sinovac Biotech China mengekspektasikan untuk mulai menganalisis data uji coba tahap akhir kandidat vaksin virus korona tahun ini, apakah cukup efektif untuk mengupayakan persetujuan peraturan sebelum penyelesaian uji coba.
  • Kementerian Keuangan RI memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi antara -1,7% hingga -0,6%, dari antara -1,1% hingga 0,2%, karena gagal menahan penyebaran Covid-19 sehingga sulit lolos dari resesi. Ekonomi akan berkontraksi sebesar 2,9-1,1% pada periode Juni-September, menyusul kontraksi 5,3% pada kuartal II (2Q). Menkeu mengatakan, beberapa sinya perbaikan sudah mulai terlihat, meski tidak sekuat perkiraan sebelumnya. Kontraksi dalam konsumsi rumah tangga kemungkinan akan berkurang menjadi antara 3% dan 1,5% di 3Q, dari penurunan 5,6% di 2Q.

 Weekly Commentary , Ashmore (Jumat,25/9) memaparkan hal berikut yang perlu diperhatikan dalam pekan-pekan mendatang;
Jelang pemilu AS, perlu bersiap untuk volatilitas?
Masih 44 hari lagi menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat, haruskah kita bersiap-saiap untuk menghadapi peningkatan volatilitas? Menurut Ashmore, jika melihat empat pemilu terakhir dan mempertimbangkan kemungkinan situasi khusus saat ini, jawaban atas pertanyaan itu kemungkinan besar adalah "ya".
"Kami menggunakan dua indikator: indeks VIX dan Indeks DXY untuk melihat bagaimana biasanya perdagangan di pasar mendekati tanggal tersebut," ungkap Ashmore. Termasuk memperhatikan titik tengah ( mean ) dari dua periode; 60 hari dan 7 hari sebelum hari pemilihan.
Dalam empat pemilu terakhir: 2016, 2012, 2008 dan 2004, 100% dari tahun-tahun tersebut, besaran volatilitas meningkat di pekan terakhir pemilu, dengan volatilitas rata-rata 27% lebih tinggi daripada periode 60 hari. DXY juga meningkat 75% kali dan hanya menurun sekali pada pemilu 2004 yang merupakan masa jabatan kedua George Bush.


60D

7D

60D

7D

VIX

DXY

CURRENT

29

?

94

?

2016

14

19

96

98

2012

16

18

80

80

2008

40

64

80

86

2004

15

16

88

83

Apakah periode kedua penting terhadap volatilitas?
"Ya. Biasanya, pemilihan periode kedua untuk presiden mana pun berarti volatilitas yang lebih rendah. Jadi, saat Donald Trump mencalonkan diri untuk periode kedua, apakah itu berarti volatilitas akan lebih rendah?" tulis Ashmore.
Arus berita terbaru yang menunjukkan bahwa Trump tidak akan berkomitmen untuk transfer kepemimpinan secara damai jika dia tidak menang, dan Joe Biden memperluas tim hukumnya untuk memperebutkan pemungutan suara secara intens, Ashmore memperkirakan volatilitas kali ini akan lebih tinggi menjelang tanggal pemilihan.
"Juga perlu diingat, dengan VIX sebesar 29 saat ini, sudah lebih tinggi dari rata-rata VIX 30 tahun sebesar 19, karena pandemi. Terlebih lagi, meskipun VIX biasanya mencapai puncaknya sekitar tanggal pemilihan, banyak analis memperkirakan bahwa peristiwa tersebut akan diperpanjang menjadi 'minggu pemilihan' sehingga volatilitas mungkin bertahan lebih lama pada tingkat yang lebih tinggi setelah tanggal pemilihan," papar Ashmore.
Kelompok aset mana yang akan mendapat manfaat dari meningkatnya volatilitas yang meningkat?
Ashmore mengekspektasikan bahwa dalam 44 hari mendatang dengan meningkatnya tingkat volatilitas dan menguatnya mata uang USD, aset berisiko paling rendah dapat menjadi alokasi taktis yang lebih baik. "Kami juga menemukan bahwa obligasi Pemerintah Indonesia dalam USD dan mata uang lokal, keduanya memiliki risiko yang lebih rendah, masih dapat menawarkan rasio yang sangat menarik dibnanding US Treasury saat ini." (Ashmore)

Sumber : Admin

powered by: IPOTNEWS.COM


Berita Terbaru