Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan di pekan terakhir November dan awal Desember, Jumat (1/12), dengan mencatatkan pelemahan IHSG sebesar 0,29% menjadi 7.060. Namun demikian capaian tersebut masih lebih tinggi dibanding penutupan akhri pekan sebelumnya, di posisi 7010. Investor asing membukukan arus masuk ekuitas sebesar USD25 juta sepanjang pekan.
PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi pergerakan dana di pasar modal dalam dan luar negeri, antara lain;
- Harga PCE inti AS, tidak termasuk makanan dan energi, pada Oktober lalu meningkat 0,2% (mom), lebih rendah dari kenaikan 0,3% di September, sejalan dengan ekspektasi.
- Perkiraan awal inflasi November di Kawasan Euro turun menjadi 2,4% (yoy), level terendah sejak Juli 2021, dan berada di bawah konsensus sebesar 2,7%.
- Estimasi awal IHK November Jerman turun menjadi 3,2% (yoy), dari 3,8% pada bulan sebelumnya, lebih rendah dari konsensus sebesar 3,5%, dan terendah sejak Juni 2021.
- PMI Manufaktur Caixin di China meningkat menjadi 50,7 pada November, dari 49,5 di Oktober 2023, melebihi perkiraan 49,8.
- Ekonomi India berekspansi 7,6% (yoy) pada kuartal III 2023, setelah tumbuhan 7,8% pada periode sebelumnya, dan mengalahkan ekspektasi kenaikan 6,8%. Angka ini juga lebih tinggi dari proyeksi Reserve Bank of India sebesar 6,5%.
- Laju inflasi tahunan Indonesia meningkat menjadi 2,86% pada November dari 2,56% di bulan sebelumnya, mengalahkan perkiraan kenaikan 2,7%, tertinggi sejak Agustus lalu. Laju inflasi tetap berada dalam target bank sentral sebesar 2-4%, selama 7 bulan berturut-turut. IHK inti November naik 1,87% (yoy), terendah dalam 22 bulan terakhir.
Mencermati perkembangan selama sepekan terakhir, berikut pendapat Ashmore dalam Weekly Commentary, Jumat (1/12);
Apa yang terjadi di minggu terakhir ini?
Ashmore mencatat, pekan ini IHSG ditutup lebih tinggi dari pekan sebelumnya, terutama didorong oleh sektor Infrastruktur dan Energi, yang masing-masing berkontribusi sebesar 6,02% dan 1,94% terhadap indeks.
Ashmore juga melihat, minggu indikator makroekonomi penting di negara-negara maju menunjukkan perlambatan momentum, sejalan dengan ekspektasi pasar saat ini akan adanya pelonggaran suku bunga yang lebih cepat.
"Di sisi lain, negara-negara perekonomian besar di Asia menunjukkan pertumbuhan, terutama di India dimana ekonomi tumbuh lebih dari yang diharapkan dan PMI manufaktur China kembali ke area ekspansif. Indonesia merilis data inflasi terbaru, dimana inflasi umum YoY dan MoM lebih tinggi daripada bulan lalu, sementara inflasi inti YoY melanjutkan penurunan," tulis Ashmore.
Lebih banyak pemangkasan produksi minyak?
Ashmore memaparkan, baru-baru ini, sebagian besar anggota OPEC + menyetujui pemangkasan produksi tambahan sebesar 1 juta barel per hari bersamaan dengan pemangkasan produksi Arab Saudi dengan jumlah yang sama. Ini adalah langkah yang diambil saat harga minyak turun sekitar 10% sejak puncaknya di bulan September.
"Meskipun begitu, para pedagang minyak skeptis apakah pemangkasan ini akan terealisasi sepenuhnya karena pemangkasan ini lebih bersifat sukarela daripada kebijakan," ungkap Ashmore. Secara year-to-date , harga minyak Brent berjangka rata-rata mencapai USD82,6 per barel, di atas harga saat ini yang berada di kisaran USD81 per barel.
Ashmore mencermati, harga minyak melemah sejak bulan September di tengah-tengah melimpahnya suplai dan prospek ekonomi yang memburuk serta antisipasi penurunan pertumbuhan permintaan. "Secara keseluruhan, harga minyak terlihat relatif stabil yang dapat diterjemahkan sebagai kejutan inflasi yang lebih sedikit dari sektor energi," Ashmore menambahkan.
Sementara itu, data inflasi utama Indonesia yang baru-baru ini dirilis lebih tinggi dari yang diperkirakan dan berada pada tren naik sejak titik terendah tahun ini di bulan September. Meskipun begitu, angka ini masih berada di dalam kisaran target bank sentral tahun ini yaitu 2% - 4%.
Pendorong utama kenaikan harga berasal dari harga transportasi dan makanan dan minuman yang mengalami kenaikan terbesar dalam sembilan bulan terakhir. "Melihat dari sisi inflasi inti, disinflasi dari awal tahun terus berlanjut namun laju penurunannya telah melambat," sebut Ashmore.
Ashmore berpendapat, volatilitas global masih tetap tinggi dengan ketegangan geopolitik yang belum mereda, meskipun negara-negara besar tampaknya bergerak ke arah yang diinginkan. Imbal hasil obligasi turun di minggu ini karena pasar memiliki ekspektasi yang lebih kuat untuk The Fed menurunkan suku bunga pada Mei 2024.
"Kami terus menyoroti pentingnya diversifikasi di antara kelas aset dan merekomendasikan ASDN dan ADPN untuk ekuitas serta ADON dan ADOUN untuk obligasi." (Ashmore)
Sumber : Admin
powered by: IPOTNEWS.COM