Wall Street Terkatrol Saham Teknologi, S&P 500 Kembali Cetak Rekor Tertinggi
Friday, April 09, 2021       04:52 WIB

Ipotnews - S&P 500 menguat untuk mencatat rekor tertinggi, Kamis, karena  yield  US Treasury turun menyusul data pasar tenaga kerja yang lebih lemah dari ekspektasi, mendongkrak sektor teknologi dan saham pertumbuhan lainnya.
Indeks berbasis luas S&P 500 naik 0,42% atau 17,22 poin menjadi 4.097,17, rekor penutupan kedua berturut-turut, demikian laporan   CNBC   dan  Reuters,  di New York, Kamis (8/4) atau Jumat (9/4) pagi WIB.
Sementara, Nasdaq Composite Index menguat 1,03% atau 140,47 poin menjadi 13.829,31 karena saham Apple, Netflix, dan Microsoft semuanya melonjak lebih dari 1%. Amazon dan Alphabet juga mencatatkan keuntungan. Sedangkan Dow Jones Industrial Average ditutup meningkat 57,31 poin, atau 0,17% menjadi 33.503,57.
Saham Tesla meroket 1,91% didorong proposal pemerintahan Joe Biden senilai USD174 miliar untuk meningkatkan kendaraan listrik.
Investor mencermati pembacaan yang lebih buruk dari perkiraan pada klaim pengangguran mingguan terbaru. Sebanyak 744.000 warga Amerika mengajukan tunjangan pengangguran untuk pertama kalinya selama pekan yang berakhir hingga 3 April, menurut Departemen Tenaga Kerja, Kamis. Ekonom yang disurvei  Dow Jones  memperkirakan klaim pertama kali berjumlah 694.000.
"Lonjakan klaim pengangguran mengecewakan tetapi tidak mengubah pandangan kami bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan ada peningkatan lapangan kerja karena ekonomi terus dibuka kembali," kata Jeff Buchbinder, analis LPL Financial. "Faktanya, tidak mengejutkan kita melihat lapangan kerja kembali mendekati tingkat pra-pandemi pada akhir tahun ini."
Data yang lebih lemah itu menekan imbal hasil US Treasury 10-tahun yang jatuh serendahnya 1,624%, level terlemah sejak 26 Maret, ketika  yield  surat utang patokan tersebut terus menjauh dari tingkat tertinggi 14-bulan di 1,776% yang dicapai pada akhir Maret.
Chairman Federal Reverse Jerome Powell, Kamis, mengisyaratkan bahwa pemulihan ekonomi dari pandemi masih memiliki ruang untuk berbalik arah karena pemulihannya sejauh ini belum menyeluruh.
"Pemulihan tetap tidak merata dan tidak lengkap," kata Powell dalam acara virtual yang digelar oleh Dana Moneter Internasional. "Ketidakmerataan yang kita bicarakan ini adalah masalah yang sangat serius."
Powell juga mengulangi bahwa inflasi diperkirakan tidak akan menjadi serius meski tekanan harga jangka pendek kemungkinan besar terjadi.
"Kami tidak berpikir itu adalah hasil yang paling mungkin, tetapi kami memiliki alat untuk menangani hasil tersebut. Kami akan menggunakannya untuk memandu inflasi kembali ke level 2% jika diperlukan. Dalam kasus yang paling mungkin, periode ini akan menunjukkan harga yang lebih tinggi untuk sementara tetapi bukan inflasi yang persisten," ucap Powell.
Presiden Joe Biden berbicara dari Washington, Rabu, tentang rencana infrastruktur pemerintahannya sebesar USD2 triliun yang mencakup kenaikan tarif pajak perusahaan menjadi 28% dan menyatakan dia bersedia untuk bernegosiasi tentang kenaikan pajak yang diusulkan tersebut.
Kenaikan yang diusulkan untuk pajak perusahaan dianggap sebagai sumber utama pendapatan pajak bagi rencana infrastruktur Gedung Putih dan bukan permulaan bagi Partai Republik, yang mengatakan mereka prihatin dengan kenaikan pajak karena ekonomi Amerika baru saja bangkit dari pandemi Covid-19.
Dukungan fiskal dianggap sebagai pendorong utama rekor ekuitas bulan lalu, dan data ekonomi yang kuat, termasuk laporan ketenagakerjaan Maret yang lebih tinggi dari ekspektasi. S&P 500, Dow industrials dan Nasdaq Composite semuanya membukukan kenaikan kuartal yang keempat berturut-turut karena pemulihan ekonomi dari Covid-19 berakselerasi.
Risalah rapat terbaru The Fed, yang dirilis Rabu, menunjukkan para pejabat berencana untuk menjaga laju pembelian aset tetap sama selama beberapa waktu karena bank sentral berupaya memenuhi target indeks harga tetap stabil dan lapangan kerja maksimum. (ef)

Sumber : Admin

powered by: IPOTNEWS.COM