4 Kecenderungan (Bias) Emosional yang Sering Terjadi ketika Membuat Keputusan Finansial
Thursday, June 05, 2025       15:10 WIB

Topik pembahasan kita kali ini adalah tentang kecenderungan (bias atau tendensi) emosional yang sering terjadi pada waktu membuat keputusan keuangan. Keputusan keuangan ( financial decision ) yang kami akan bahas di sini adalah keputusan investasi, terutama menyangkut keputusan untuk membeli atau menjual saham-saham di BEI (Bursa Efek Indonesia).
Bias adalah kecenderungan, inklinasi atau tendensi, yang mempengaruhi pertimbangan ( judgement ) dan keputusan yang kita ambil atas segala sesuatu - contoh: makanan yang kita makan, pakaian yang kita kenakan hari ini, atau lokasi yang kita pilih untuk pensiun nanti. Bias pada umumnya bersifat emosinal (bagaimana kita merasakan tentang sesuatu), tetapi dapat juga bersifat kognitif (apa yang kita pikir tentang sesuatu).
Tetapi, ketika bias itu menyangkut investasi kita (uang di saku kita), kecenderungan emosional yang terjadi dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang buruk (kerugian finansial yang besar).
Di sini, kita akan membahas sedikit tentang  behavioral finance , yaitu satu cabang ilmu  finance  yang khusus mempelajari tentang proses bagaimana suatu keputusan keuangan ( financial decision ) diambil, dilihat dari segi emosional (psikologis) dan ekonomi. Suatu keputusan keuangan ( financial decision making ) seringkali diasumsikan telah diambil melalui pertimbangan rasional yang bersandar pada logika dan analisis objektif.
Teori ekonomi klasik dibuat berdasarkan pendapat ( notion ) bahwa manusia selalu bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri ( self-interest ), dan bahwa manusia akan berusaha mendapatkan hasil yang optimal berdasarkan semua informasi yang tersedia. Tetapi, pengamatan atas keputusan-keputusan keuangan yang diambil manusia seringkali hasilnya meragukan pendapat ini.
Menurut penelitian para ahli ( behavioral finance ), manusia seringkali mengambil keputusan-keputusan keuangan yang penting secara tidak rasional ( irrational ), yang dipengaruhi oleh berbagai faktor emosional dan bersifat bias. (Dulu, ketika penulis mengambil ujian CFA pada tahun 2004, teori tentang  behavioral finance  ini diajarkan di CFA level 3).
Pada waktu mempelajari teori-teori tentang investasi saham, kita sering mendengar tentang satu perilaku pemodal yang dapat membawa akibat yang sangat buruk bagi kondisi keuangan pemodal, yaitu  herd behaviour  (perilaku gerombolan). Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang empat kecenderungan atau bias yang juga umum terjadi (walau pun terjadi secara individual, bukan  herd behaviour ) yang juga dapat membawa akibat-akibat yang sangat merugikan bagi pemodal di Bursa Efek.
1. Bias karena ingin menghindari kerugian ( loss aversion )
Kecenderungan yang pertama adalah bias yang terjadi karena pemodal (investor) tidak ingin terlihat telah melakukan kesalahan investasi dan terpaksa harus melakukan pemangkasan kerugian ( cut loss ). Padahal, kita semua tahu, bahwa keputusan berinvestasi dalam saham (beli dan jual) selalu membawa akibat untung atau rugi ( profit or loss ).
Hal yang lebih penting untuk diperhatikan dalam  trading  saham di sini adalah bahwa jumlah keputusan yang mengakibatkan kita untung ( profit ) masih lebih banyak dibandingkan jumlah keputusan yang menyebabkan kita rugi ( loss ).
Kita ambil contoh hipotetis di sini, seorang pemodal ( investor ) telah empat kali berturut-turut mengambil keputusan yang tepat dalam membeli saham (dan menjual kembali saham tersebut dengan mengantongi keuntungan). Pada usaha yang ke-lima, harga saham yang dibelinya mengalami penurunan harga yang cukup dalam. Semua indikator pergerakan harga saham yang dipakai pemodal tersebut menyarankan bahwa ia harus segera menjual saham tersebut.
Akan tetapi, karena pemodal tersebut ingin mempertahankan catatan kinerjanya yang telah berhasil empat kali berturut-turut memilih saham dengan tepat ( profit ), maka pemodal ini tidak menjual saham yang ke-lima tersebut. Hal yang sesungguhnya terjadi di sini adalah pemodal tersebut mengalami bias emosional karena ia hendak menghindari kerugian, tetapi malah berakhir dengan mengalami kerugian yang lebih besar.
2. Bias karena terlalu percaya diri ( over-confidence )
Bias yang ke-dua adalah kecenderungan seorang pemodal untuk tetap memegang suatu saham karena saham tersebut  dahulu  pernah mengalami penurunan harga yang dalam, tetapi harganya bisa kembali naik ( bounced back ) bahkan lebih tinggi dari harga saham tersebut sebelum jatuh. Dalam hal ini, pemodal seharusnya melakukan analisis tentang hal-hal apa yang sesungguhnya menyebabkan harga saham tersebut jatuh (analisis fundamental), bukan hanya melihat pergerakan harga saham tersebut dari hari ke hari (analisis teknikal).
Jika harga suatu saham jatuh karena faktor-faktor fundamentalnya, seperti misalnya keunggulan kompetitifnya yang tergerus karena arus barang impor yang lebih murah dan berkualitas baik, maka tidak seharusnya kita terlalu percaya diri bahwa saham perusahaan itu akan segera kembali naik ( bounced back ) seperti dahulu.
3. Bias karena takut menyesal ( sense of regret )
Bias yang ke-tiga yang akan kita bahas adalah kecenderungan seorang pemodal untuk mempertahankan suatu saham dalam portofolionya karena adanya perasaan takut akan menyesal (telah menjual saham tersebut). Misalnya, seorang karyawan perusahaan terbuka ( public company ) yang memiliki investasi portofolio sebagian besar dalam saham perusahaan tempatnya bekerja. Karyawan ini selalu bangga dengan loyalitasnya pada erusahaan tempatnya bekerja. Bahkan investasi portofolio-nya pun ditempatkan sebagian besar di dalam saham perusahaan tempatnya bekerja.
Tetapi, teori manajemen portofolio yang dipelajari oleh karyawan tersebut mengatakan bahwa investasi portofolio yang baik harus disebarkan (diversifikasi) ke dalam banyak saham, bukan terkonsentrasi pada satu atau beberapa saham saja. Kalau saham-sahamnya terdiversifikasi, karyawan itu mungkin akan menyesal (pada waktu harga saham perusahaannya naik, tetapi harga saham lain tidak naik), karena ia telah bersikap tidak loyal pada perusahaannya bekerja. Kalau saham-sahamnya terkonsentrasi hanya pada saham perusahaan tempatnya bekerja, karyawan itu mungkin juga akan menyesal pada saat harga saham perusahaannya turun, karena tidak melakukan diversifikasi.
4. Bias karena patokan yang sudah diambil ( anchoring )
Bias yang terakhir yang akan kita bahas di sini adalah kecenderungan seorang pemodal ( investor ) untuk bertahan memegang suatu saham karena saham tersebut  dahulu  pernah jatuh harganya tapi bisa kembali ke harganya semula. Saham tersebut mungkin saja bisa kembali ke harganya semula, tetapi kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi.
Sementara kita hanya bisa menunggu, kesempatan berinvestasi di tempat lain mungkin harus kita lupakan. Di sini bias emosional itu terjadi. Kita terlalu bergantung pada harga saham itu  dahulu  (harga patokan yang kita buat secara mental), dan kita lupa menganalisis peluang investasi pada saham-saham baru yang mungkin jauh lebih menarik.
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA 

Sumber : admin