Banyak Investor Tinggalkan EM, Beberapa Justru Berburu Aset Murah
Wednesday, May 16, 2018       19:51 WIB

Ipotnews - Penguatan dolar dan kenaikan imbal hasil obligasi AS, serta tekanan geopolitik memicu banyak investor untuk keluar dari  emerging market . Namun sejumlah lembaga pengelola dana investasi, justru sibuk berburu aset murah.
Aberdeen Standard Investments, yang mengelola dana investasi sekitar USD770 miliar, mengambil keuntungan dari aksi jual di  emerging market  (EM) untuk meningkatkan kepemilikannya dalam mata uang rubel Rusia, rand Afrika Selatan, dan rupiah Indonesia. Unit manajemen aset Goldman Sachs Group Inc., yang mengelola dana lebih dari USD1 triliun, meningkatkan posisinya dalam surat utang  emerging market  (EM) memanfaatkan pelemahan yang sudah berlebihan.
Kendati demikian, mereka mengacualikan aset-aset Argentina dan Turki dari daftar perburuan. Ashmore Group Plc. menilai, kemunduran yanng terjadi di dua negara tersebut tidak didukung dengan fundamental ekonomi dan pertumbuhan yang solid.
"Kami tidak melihat ada yang salah dengan posisi EM akhir-akhir ini, yang mengubah proyeksi EM," kata Jan Dehn, kepala riset di Ashmore, London yang mengelola sekitar USD77 miliar aset negara berkembang. "Ini adalah waktu untuk membeli EM, bukan untuk dijual," imbuhnya seperti dikutip Bloomberg, Rabu (16/5).
Indeks mata uang Bloomberg yang mengukur hasil investasi yang didanai dengan pinjaman dolar AS dalam jangka pendek ( carry-trade ) dari delapan pasar negara berkembang, menurun dalam empat pekan terakhir. Indeks mata uang EM bergerak mendekati level terlemahnya tahun in.
Sementara itu indeks saham acuan di EM memperpanjang penurunan, pada hari ini, setelah  yield  US Treasury 10-tahun naik menembus 3 persen, untuk pertama kalinya sejak 2011. Indeks Bloomberg Barclays untuk surat utang pemerintah dalam mata uang lokal juga melorot dalam lima pekan terakhir.
Goldman Sachs Asset Management mengatakan, menguatnya dolar akhir-akhir ini sebagian besar disebabkan oleh aksi investor spekulatif yang berusaha menutup posisi  short  mereka. "Tidak karena perubahan persepsi investor terhadap dari latar belakang makro," tulis Goldman dalam catatan kepada klien.
"Kinerja surat utang EM yang relatif rendah saat ini, tampak berlebihan dan kami menurut kami tidak akan ada pelemahan secara meluas berkat kuatnya (fundamental) di EM tertentu," papar Goldman.
Goldman berpendapat, ekonomi global terus tumbuh, mendukung mata uang dan aset lainnya di luar AS termasuk mata uang. Mata uang negara-negara berkembang juga, menurut Goldman, mulai terlihat  undervalued  berdasarkan alat ukur penilaian tradisional seperti perbedaan suku bunga.
Morgan Stanley Investment Management juga sependapat dengan Goldman. "Kami percaya bahwa fundamental EM umumnya tetap kuat dan periode kinerja yang buruk ini akan berakhir. Aset EM akan sekali lagi mengungguli pasar," katanya dalam catatan analis, Rabu ini.
Kenneth Monaghan, direktur Amundi Pioneer Asset Management, yang berbasis di Durham berargumen bahwa kenaikan imbal hasil obligasi AS merupakan cerminan pertumbuhan, bukan risiko. Ia memperkirakan  yields  US Treasury akan naik tidak lebih dari 3,25 persen pada akhir tahun, kecuali ada kenaikan signifikan pada laju inflasi atau pun pertumbuhan PDB AS.
"Orang-orang telah menetapkan level tertentu pada US Treasuries, yang jika telah mencapai level tersebut maka dunia berakhir, " kata Monaghan dalam sebuah wawancara di Singapura. "Saya tidak setuju dengan teori itu. Jika ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang lebih besar, pasar dengan imbal hasil tinggi akan menyerapnya," imbuhnya.
"Argumen untuk dolar yang lebih kuat masih bertahan," kata Saed Abukarsh, co-founder of Ark Capital, Dubai. "Tapi saya pikir sekarang kita harus taktis karena dolar kemungkinan akan memasuki fase konsolidasi dalam jangka pendek," ujarnya. (Bloomberg/kk)

Sumber : Admin