Belajar dari Krisis, Ekonomi Asia Tetap Tangguh ketika Emerging Market Terlihat Rentan
Friday, May 07, 2021       15:17 WIB

Ipotnews-Memasuki tahun kedua pandemi, beberapa kekhawatiran yang berulang - seperti inflasi, pelarian modal atau utang publik - muncul kembali di seputar isu negara berkembang.
Namun di Asia, para pembuat kebijakan tidak terlalu dipusingkan oleh masalah klasik  emerging market  (EM) itu. Perekonomian Asia terlihat semakin berkembang.
Kemampuan menghadapi krisis itu, sebagian besar didapatkan dari pelajaran trauma sejak tiga dekade lalu - kehancuran ekonomi regional akhir 1990-an, kehancuran global tahun 2008, termasuk "taper tantrum" tahun 2013 - untuk memperkuat daya tahan ekonomi Asia.
"Negara-negara Asia telah menggunakan krisis masa lalu untuk belajar dan membangun ketahanan," kata Sonal Varma, ekonom di Nomura Holdings Inc. di Singapura, seperti dikutip Bloomberg, jumat (7/5).
Perekonomian Asia kini memiliki cadangan devisa yang cukup besar, sistem keuangan yang lebih kuat, dan tidak dapat disangkal sebagai pembangkit tenaga ekonomi dunia . Pasar saham Asia, seperti halnya di negara maju, telah membukukan keuntungan selama pandemi, sementara kawasan yang sedang berkembang lainnya melemah.
India, yang sedang berjuang melawan wabah Covid-19 terburuk di dunia, pimpinan bank sentral telah memiliki penyangga yang disediakan oleh cadangan devisa, yang telah tumbuh lebih dari sepuluh kali lipat sejak tahun 2000. "Ini memberi kami kepercayaan diri untuk menghadapi limpasan dampak global," kata Gubernur Reserve Bank of India, Shaktikanta Das, Rabu lalu, saat dia memperkenalkan langkah-langkah dukungan baru terhadap perekonomian negara itu.
Semua itu telah membuat sebagian besar pembuat kebijakan di kawasan Asia tidak terpengaruh oleh ketakutan inflasi yang mengguncang banyak EM di kawasan lain.
Dengan imbal hasil obligasi AS yang meningkat, lonjakan harga pangan, energi, dan bahan mentah telah memaksa beberapa negara EM, seperti Brasil, Rusia, dan Turki untuk menaikkan suku bunga pada tahun ini - meskipun ekonomi mereka masih belum pulih pulih dari Covid-19 .
Sebaliknya, para gubernur bank sentral di Asia lebih terdengar seperti Jerome Powell dari Federal Reserve - yang berpendapat bahwa kenaikan harga kemungkinan besar tidal akan terlalu tinggi dan bersifat sementara.
Menurut Bloomberg, sejauh ini tidak ada negara berkembang di Asia yang menaikkan suku bunga acuan mereka pada tahun 2021. Hanya Pakistan yang diperkirakan akan melakukannya pada akhir tahun ini. Kawasan Asia bahkan kemungkinan akan menurunkan target inflasi tahun ini seperti yang terjadi pada tahun 2020, tulis analis TD Ameritrade dalam laporan pertengahan April lalu.
Pada awal krisis Asia tahun 1997, para pembuat kebijakan merespons dengan konsolidasi fiskal dan suku bunga yang lebih tinggi. Langkah tersebut semakin merugikan kawasan tersebut hingga ratusan miliar dolar dan kehilangan output, sehingga memicu pemikiran ulang yang lebih mendalam tentang bagaimana ekonomi harus dikelola.
Ketika tejadi krisis global tahun 2008, ekonomi Asia sudah lebih tangguh, "karena mereka merespons dengan stimulus fiskal dan moneter  countercyclical ," tulis Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (Ecosoc) untuk Asia dan Pasifik dalam laporannya tahun ini. Tak ada krisis utang besar di kawasan Asia sejak tahun 90-an, "sebagian berkat terjadinya pertumbuhan pesat di pasar obligasi mata uang lokal," Ecosoc menambahkan.
Pasar utang pemerintah dan perusahaan di negara berkembang Asia bernilai lebih dari USD20 triliun pada tahun lalu, naik kurang dari USD1 triliun dibandingkan dua dekade sebelumnya.
Beberapa negara juga mulai menerapkan pembatasan jangka panjang pada pengeluaran - seperti Indonesia, yang menetapkan batas defisit anggaran sebesar 3% dari PDB dalam undang-undang. Ketika aturan itu dilonggarkan selama pandemi, investor secara luas menerima jaminan bahwa aturan itu akan diberlakukan kembali ketika keadaan darurat telah berlalu.
Berdasarkan kerentanan utang dan tolok ukur lainnya, ekonomi Asia umumnya menempati peringkat terkuat dalam  score card  EM versi Bloomberg.
Perdagangan telah memberi Asia penyangga ekstra selama pandemi, karena ekspornya bangkit kembali dengan relatif cepat. Korea Selatan dan Taiwan, pemasok utama untuk pasar global semikonduktor yang ketat, berada dalam posisi yang sangat kuat.
Bagi beberapa analis, Korea Selatan dan Taiwan - dengan output ekonomi per kapita sekitar USD30.000 - sudah terlalu makmur untuk dianggap sebagai  emerging market . Kondisi itu menyoroti masalah yang lebih luas dengan istilah tersebut, yang berevolusi untuk menggambarkan kelas aset keuangan dan tidak mencerminkan perbedaan antara perekonomian dan masyarakatnya.
Kelompok yang dikenal sebagai EM Asia ini sering kali memiliki besaran ekonomi raksasa tetapi lebih miskin seperti India, serta yang jauh lebih kaya seperti Taiwan. Indeks MSCI EM Asia yang banyak digunakan, termasuk Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Filipina, dan Thailand - serta China, merupakan kategori tersendiri yang dibuat dunia keuangan.
Apa pun labelnya, kedekatannya dengan perekonomian besar yang tumbuh paling cepat di dunia telah menjadi keuntungan bagi tetangga, terutama di masa pandemi.
Sekitar pertengahan tahun lalu, banyak perusahaan Asia "menghadapi penghentian tiba-tiba dalam pesanan dan likuiditas," kata Taimur Baig, kepala ekonom di DBS Bank Ltd., Singapura. "Saat pabrik-pabrik China mulai berputar lagi, kelegaan menjalar melalui rantai pasokan Asia yang rumit."
Banyak investor EM yang telah memperlakukan Asia secara berbeda. Ian Samson, manajer investasi di Fidelity International, Hong Kong, mengatakan, ini sebenarnya adalah blok yang terpisah.
"Dalam hal fundamental - apakah itu pertumbuhan struktural atau keseimbangan fiskal - Asia telah mengungguli Amerika Latin" dan pasar negara berkembang di Eropa , Afrika dan Timur Tengah, kata Samson.
Ia menambahkan, Asia sangat dominan dalam ekuitas EM, menyumbang sebagian besar dari total investasi. Sebagian karena memiliki perusahaan yang lebih besar, dan sebagian karena lebih banyak dianatarnya yang berada di sektor dengan pertumbuhan tinggi seperti teknologi.
Paul Sandhu dari BNP Paribas Asset Management melihat kinerja gemilang Asia terus berlanjut "di masa mendatang". Ia mengacu pada kekuatan yang telah melampaui aspek ekonomi dengan mencakup tata kelola. Pada fase awal pandemi, Asia "penanganannya lebih baik daripada ekonomi lainnya, baik di EM maupun pasar negara maju," katanya.
Namun bagaimanapun, Asia juga mempunyai andil dalam masalah global. Di luar gelombang kedua infeksi Covid-19 yang mematikan di India, juga telah terjadi kebangkitan kembali di Thailand dan Filipina, sementara kampanye vaksinasi cenderung lamban.
Tantangan ekonomi lainnya termasuk meningkatnya utang swasta dan pertanyaan jangka panjang mengenai kemandirian bank sentral - yang juga muncul di beberapa negara maju. Sementara itu, ketegangan antara AS dan China tak henti memusingkan negara-negara yang ingin tetap berhubungan baik dengan keduanya.
Akan tetapi, ekonomi kawasan Asia umumnya memiliki lebih banyak ruang untuk mengatasi kesalahan daripada kebanyakan negara lain, menurut Baig di DBS.
"Tidak ada negara berkembang di Asia saat ini yang ditandai dengan kekhawatiran keberlanjutan utang atau ambruknya sentimen investor secara dramatis, yang tampaknya menjadi kasus di sejumlah negara berkembang di kawasan lain," kata Baig. (Bloomberg)


Sumber : Admin