Beralih ke Lokal, Beberapa Perusahaan Indonesia Abaikan Rencana Listing di Luar Negeri
Monday, September 27, 2021       16:44 WIB

Ipotnews - Grup  blockbuster   e-commerce  Indonesia yang terdaftar di bursa saham PT Bukalapak.com, Tbk () menjadi pendorong perusahaan teknologi rintisan di dalam negeri untuk meninggalkan rencana penawaran saham di luar negeri, dan beralih ke lokal.
Minat investor internasional di sektor teknologi Indonesia telah meningkat. Sejumlah raksasa teknopnolgi informasi, termasuk Facebook, Microsoft, Tencent, Alibaba, Google dan perusahaan ekuitas swasta KKR dan Warburg Pincus sudah menyusup di banyak perusahaan rintisan lokal.
Saat ini Indonesia memiliki  startup unicorn,  atau perusahaan rintisan swasta bernilai lebih dari USD1 miliar, terbesar di Asia Tenggara. Namun, hingga Bukalapak mencatatkan USD1,5 miliar pada Agustus lalu, belum ada  startup  yang berhasil terdaftar di pasar saham. Ini adalah langkah penting dalam siklus awal bagi investor global.
Saat ini, beberapa grup teknologi Indonesia lainnya sedang mempertimbangkan untuk masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai alternatif yang kredibel untuk penawaran umum perdana internasional.
Konglomerat MNC Group, yang didirikan Hary Tanoesoedibjo, juga telah membatalkan rencananya untuk mendaftarkan layanan  streaming  video di AS melalui merger dengan  special purpose acquisition company  ( SPAC ) - perusahaan tanpa operasi komersial [cek kosong] yang dibentuk khusus untuk tujuan menghimpun modal melalui IPO - di bulan ini.
"Ketika mendapatkan jalan keluar seperti [Bukalapak] itu, berarti mendapat perhatian untuk pendanaan tahap selanjutnya," kata William Bao Bean, mitra di dana modal ventura global SOSV . "Tidak hanya itu, ini adalah kesuksesanse telah menembakkan senjata awal, [tetapi] kita [juga] harus melihat lonjakan pendanaan yang masuk ke pasar dari investor internasional," imbuh Bean Seperti dikutip Financial Times, Senin (27/9).
BEI telah berupaya untuk menarik lebih banyak perusahaan teknologi dengan memperkenalkan peraturan untuk mengakomodasi sektor ini, berupa saham kelas ganda yang akan memberi kemungkinan kepada para pendiri dan pemegang saham yang ada untuk mempunyai lebih banyak kendali atas perusahaan mereka.
Bukalapak,  marketplace  online yang didukung oleh Microsoft, perusahaan fintech miliarder China Jack Ma Ant Group dan dana pemerintah Singapura GIC, telah menaikkan target IPO dari target awal USD300 juta menjadi USD1,5 miliar, yang menjadikannya daftar pasar saham terbesar di negara itu.
Debut Bukapalak, mengangkat prospek perusahaan teknologi lain yang akan  go publik  di Indonesia. GoTo, sebuah "aplikasi super" yang menawarkan layanan  e-commercre , pemesanan kendaraan, pengiriman dan pembayaran, sedang merencanakan  dual listing  di Indonesia dan AS dengan target valuasi pasar lebih dari USD40 miliar.
Pendukung GoTo, antara lain terdiri dari; Tencent, Google, SoftBank, Alibaba, Visa dan Warburg Pincus.
Raghav Maliah, wakil ketua perbankan investasi global di Goldman Sachs, mengatakan, Indonesia memiliki "pasar terbesar yang dapat dituju" dan berada di garis depan permintaan dari investor global.
Barrett Comiskey, kepala eksekutif Migo, sebuah perusahaan rintisan yang memungkinkan konsumen mengunduh film dan acara televisi ke ponsel melalui mesin yang dipasang di toko serba ada, mengatakan,  listing  di luar negeri menjadi "sangat masuk akal" setelah IPO Bukalapak.
"Investor  blue-chip  selalu mendorong kami untuk pergi ke pasar di mana basis investor menjadi paling dapat dipahami," katanya. Investor Migo termasuk perusahaan investasi milik negara Singapura, Temasek, dan salah satu pendiri YouTube, Steve Chen.
MNC Group bulan ini mengakhiri perjanjian untuk menggabungkan anak perusahaannya Asia Vision Network, perusahaan induk untuk  platform streaming  lokal Vision+, dengan SPAC yang terdaftar di Nasdaq, Malacca Straits Acquisition Company. MNC menyebutkan, "meningkatnya antusiasme investor di BEI" kepada perusahaan digital, sebagai alasan.
Willson Cuaca, salah satu pendiri perusahaan modal ventura East Ventures yang berfokus di Indonesia, mengatakan sejumlah perusahaan portofolionya sedang mempertimbangkan penjualan saham di dalam negeri.
"Ini tentang nilai kelangkaan; belum banyak perusahaan publlik di sektor teknologi yang terdaftar di Indonesia," ujarnya.
Namun, Indonesia masih memiliki beberapa cara untuk mendapatkan permintaan AS atau pasar lain terhadap perusahaan rintisan teknologi.
Menurut data Bank Dunia, BEI menempati peringkat ke-23 di dunia dalam hal kapitalisasi pasar dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar, bernilai sekitar USD500 miliar, di belakang Singapura dan Thailand. Perdagangan juga masih didominasi oleh investor ritel, yang membuat harga saham cenderung  volatile .
"Masih kurang investor institusional yang memberikan stabilitas, meskipun itu bisa berubah jika kita mendapatkan serangkaian IPO yang sukses," kata Hwee Ang, pendiri grup penasihat keuangan Anagram Advisors.
Ia menambahkan, risiko politik adalah masalah lain. "Selalu ada pertanyaan tentang panjangnya umur pemerintah di negara-negara Asia Tenggara, dan bagaimana kebijakan bisa berubah."
Dan meskipun Bukalapak mengalami kenaikan tajam pada debut perdagangannya, sahamnya sejak itu kembali turun mendekati harga IPO.
Bulan lalu, induk Kredivo, aplikasi "beli sekarang, bayar nanti" di Indonesia, setuju untuk  go public  melalui merger senilai USD2,5 miliar dengan SPAC yang terdaftar di Nasdaq.
Meskipun Kredivo tidak berencana mengejar IPO di AS, pendirinya, Akshay Garg mengatakan, "Kami pikir itu selalu lebih baik, sebagai strategi, untuk melakukan  listing  di pasar modal dengan struktur terdalam, dan itu adalah AS." (Financial Times)

Sumber : Admin