Berpotensi Rugikan Negara, Kebijakan Menteri BUMN dan Dirut Pertamina Digugat Ke PN
Tuesday, July 21, 2020       10:05 WIB

Ipotnews - Menteri BUMN , Erick Thohir, dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, digugat oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Keduanya dinilai telah mengeluarkan kebijakan yang tidak sejalan dengan peraturan perseroan dan UU BUMN yang berakibat pada potensi kerugian yang bakal dialami oleh banyak pekerja Pertamina.
FSPPB menilai kebijakan dari dua tokoh sentral tersebut juga berpotensi menimbilkan peralihan aset dan keuangan negara yang dikelola Pertamina. Kebijakan yang dianggap menyeleweng dari ketentuan adalah keputusan tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur jabatan, pengalihan tugas dan pengangkatan direksi Pertamina yang dikeluarkan Erick Thohir. Kemudian surat keputusan itu diikuti dengan keluarnya surat keputusan Direktur Utama Pertamina tentang struktur organisasi dasar Pertamina (Persero), yang ditandai dengan pembentukan lima Subholding Pertamina.
Kepala Bidang Media FSPPB, Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan sebagai perwakilan seluruh Serikat Pekerja di lingkungan Pertamina, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Padahal dalam upaya penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan perubahan bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) wajib memperhatikan kepentingan karyawan, yang diwakili Serikat Pekerja, sebagaimana diatur hukum dan perundangan-undangan terutama Pasal 77 UU BUMN . Dalam mengajukan gugatan ini pihaknya menunjuk Firma Hukum Sihaloho & Co sebagai kuasa hukum.
"Sudah seharusnya kita semua, apalagi pejabat negara, ikut menjaga kedaulatan energi nasional demi anak cucu. Bukan justru memanfaatkan celah-celah hukum demi kepentingan tertentu," kata Marcellus, Selasa (21/7).
Sementara itu Pengurus Bidang Hubungan Industrial dan Hukum FSPPB Dedi Ismanto mengatakan, keputusan Erick Thohir dan Nicke Widyawati tersebut merugikan pekerja karena jabatan, hak, kewajiban dan status kepegawaian yang berubah. Keputusan itu juga mengakibatkan peralihan keuangan dan aset-aset negara, yang sebelumnya dikuasai Pertamina (Persero) berubah kedudukannya menjadi dikuasai anak-anak perusahaan Pertamina (Subholding).
Dedi menjelaskan, jika semua skenario Menteri BUMN dan Direktur Utama Pertamina itu berjalan, maka negara akan berbagi kekuasaan dengan swasta, termasuk investor asing, dalam seluruh rantai usaha Pertamina. Mulai dari hulu, pengolahan, distribusi dan pemasaran, hingga pasar keuangan. Dalam hal ini, kedaulatan energi nasional dipertaruhkan.
"Dan yang sangat mengkhawatirkan adalah, anak-anak perusahaan Pertamina itu akan diprivatisasi atau denasionalisasi dalam waktu dekat ini," ujar Dedi.
Sementara itu Kuasa Hukum FSPPB, Janses Sihaloho, menambahkan bahwa privatisasi subholding Pertamina jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas. Penentuan harga BBM dan LPG misalnya, tidak lagi akan mempertimbangkan daya beli masyarakat luas.
"Karena status kepemilikannya sudah berubah, kebijakan tidak lagi murni ditentukan negara. Pasti akan dipengaruhi kepentingan pemegang saham lainnya, termasuk investor asing," kata Janses.
Menurut Janses, proses privatisasi Subholding Pertamina yang diawali dengan Keputusan Menteri BUMN dan Keputusan Direktur Utama Pertamina tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero), ditengarai kuat memanfaatkan celah hukum pada pasal 77 UU BUMN . Pasal tersebut secara tegas melarang induk perusahaan BUMN (Perusahaan Persero) tertentu, termasuk Pertamina, untuk diprivatisasi.
Namun, terhadap anak Perusahaan Persero BUMN , pasal itu memiliki makna ambigu dan multi tafsir sehingga membuka peluang untuk diprivatisasi. Karena itu, pada Rabu (15/7) lalu, FSPPB mengajukan uji materil terhadap Pasal 77 UU BUMN ke mahkamah Konstitusi.
(Marjudin)

Sumber : Admin