Ekspor bijih nikel dilarang tahun depan, ini efeknya terhadap Central Omega (DKFT)
Wednesday, September 11, 2019       17:15 WIB

JAKARTA. Pemerintah memutuskan untuk mempercepat penerapan wacana larangan ekspor bijih nikel kadar rendah. Aturan ini bakal diterapkan mulai 1 Januari 2020 atau dua tahun lebih cepat dari jadwal seharusnya.
Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pemerintah mempercepat untuk menerapkan aturan ini.  Pertama , untuk menjaga cadangan nikel dalam negeri. Kedua, smelter pengolahan nikel yang sudah menjamur di dalam negeri.
Selain itu, potensi nikel yang bisa diubah menjadi cobalt dan lithium sebagai bahan baku baterai mobil listrik juga melatarbelakangi penerapan aturan ini.
Alhasil, kebijakan ini akan mempengaruhi kinerja emiten nikel setidaknya mulai awal tahun depan. Salah satu emiten yang terdampak adalah PT Central Omega Resources Tbk () yang merupakan emiten yang bergerak di bidang pertambangan nikel.
Johanes Supriadi,  Corporate Secretary  PT Central Omega Resources Tbk tidak menampik bahwa aturan ini nantinya akan berimbas terhadap kinerja perusahaan.
"Pasti ada dampak terhadap pendapatan perusahaan yaitu hilangnya sebagian pendapatan perusahaan dari sektor pertambangan," ungkap Johanes kepada Kontan.co.id, Rabu (11/9).
Meski demikian, Johanes belum mengungkapkan lebih jauh ihwal berapa besar pendapatan yang berpotensi hilang ini.
Untuk diketahui, pada 2018 kinerja keuangan terbilang kurang memuaskan. Tahun lalu, masih mencatatkan rugi sebesar Rp 53,28 miliar.
Johanes melanjutkan, potensi pendapatan ekspor bijih nikel yang hilang ini nantinya akan tertutupi oleh peningkatan pendapatan dari penjualan feronikel.
Kontan.co.id mencatat, tahun ini menargetkan penjualan bijih nikel sebanyak 1,01 juta metrik ton. Perinciannya, 200.000 metrik ton bijih nikel ke smelter, sementara sebanyak 818.000 metrik ton akan dijual ke pasar ekspor.
Sementara untuk penjualan feronikel, menargetkan dapat menjual sebanyak 39.200 metrik ton feronikel hingga akhir 2019.
kini tengah meneruskan pengembangan  smelter  feronikel tahap II berkapasitas 200.000 metrik ton feronikel per tahun yang saat ini memasuki studi kelayakan.
 Smelter  yang berlokasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah ini akan mulai dibangun pada 2020 dan diperkirakan rampung pada pertengahan 2022.
Sebelumnya, telah membangun  smelter  tahap I pada 2017 silam dengan kapasitas 100.000 metrik ton feronikel per tahun menggunakan Blast Furnance Technology.
Terakhir, Johanes berharap wacana pemerintah ini dapat berpengaruh terhadap stok nikel di pasar global sehingga harga nikel dapat terus membaik.
"Sehingga industri nikel di Indonesia dapat berkembang dan khususnya pengusaha  smelter  dapat terus menyelesaikan proyek-proyeknya hingga selesai," tutup Johanes.

Sumber : KONTAN.CO.ID