Mantan Gubernur BI: Relaksasi Kredit Bisa Bikin Bank Merugi
Monday, March 30, 2020       11:43 WIB

Ipotnews - Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo menyarankan agar pemerintah lebih cermat dalam menerapkan kebijakan relaksasi kredit bagi usaha mikro, kecil dan menengah ( UMKM ), karena jika kebijakan tersebut tidak tepat sasaran dan dimanfaatkan oleh debitur nakal, maka lembaga perbankan bisa merugi.
Menurut Agus Marto di Jakarta, Senin (30/3), arahan Presiden Joko Widodo yang diwujudkan melalui POJK No 11/POJK.03/2020 untuk merelaksasi kredit harus dicermati lebih mendalam, sebab kelonggaran kredit itu sedianya hanya diperuntukan bagi pelaku usaha yang terdampak langsung oleh penurunan daya beli akibat penyebaran Covid-19.
Sebelumnya, pada 24 Maret 2020, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa memberikan kelonggaran atau relaksasi kredit kepada pelaku UMKM untuk nilai di bawah Rp10 milyar, baik kredit maupun pembiayaan yang diberikan oleh bank dan industri keuangan non-bank kepada debitur berupa penundaan pembayaran sampai satu tahun dan penurunan bunga.
Agus Marto menjelaskan, pada dasarnya relaksasi kredit tersebut bukan bermakna penundaan cicilan secara keseluruhan, karena debitur tetap memiliki kewajiban membayar bunga kredit. "Jangan ditangkap debitur bahwa mereka diperkenankan tidak membayar kewajibannya, karena jelas sekali bahwa sumber dana bank adalah dana masyarakat yang berupa giro, tabungan dan deposito yang harus dibayarkan bunganya ke masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut Agus Marto menyebutkan, kebijakan relaksasi berupa penundaan cicilan tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profil risiko debitur, sehingga debitur tidak secara serta-merta mendapatkan penangguhan cicilan.
"Untuk bank, tentu harus melihat kondisi nasabah UMKM untuk tujuan dunia usaha, kalau seandainya perlu dilakukan restrukturisasi, rekondisi atau reschedule. Saya tekankan, kewajiban pembayaran bunga harus selalu dipenuhi. Seandainya terkait kredit sepeda motor, namun pinjaman itu berdampak dan dibidang usaha (ojek online) bisa ditunda cicilan pokok, tetapi kewajiban bunga harus dibayar," terang Agus Marto.
Hal senada juga disampaikan oleh ekonom senior Indef, Aviliani yang tidak menyetujui jika kebijakan relaksasi kredit kepada pelaku usaha berupa penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun berlaku untuk semua debitur.
Aviliani mengatakan, pada Peraturan OJK ( POJK ) No. 11/POJK.03/2020 sudah jelas disebutkan bahwa restrukturisasi kredit ada mekanismenya, yaitu harus mengajukan untuk restrukturisasi dan tidak bisa secara otomatis menjadi hak nasabah, seperti isu yang beredar saat ini.
"Dan, perlu dicatat bahwa (relaksasi) ini tidak berlaku buat semua. Karena apa, kalau yang berpenghasilan tetap kan tidak ada masalah. Kecuali dia terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Pasti dia yang di-PHK akan mengalami penurunan pendapatan. Nah, mungkin restrukturisasi bisa diajukan. Jadi yang perlu menunda itu orang-orang yang benar terkena dampak ekonomi. Nanti akan dilihat kembali oleh perbankan apakah layak atau tidak," tuturnya.
Aviliani mengkhawatirkan kesehatan perbankan akibat relaksasi kredit tersebut, karena kelonggaran yang diberikan tertuju pada debitur dengan pinjaman di bawah Rp10 miliar. Sementara itu, sektor-sektor yang terpengaruh oleh wabah Covid-19, sebagian besar merupakan debitur dengan pinjaman di bawah Rp10 miliar.
"Sebagian besar pinjaman mereka itu di bawah Rp10 miliar. Nah, itu pasti akan terjadi masalah missmatch atau cashflow buat banknya sendiri. Bagi masyarakat sendiri tetap ada problem, karena dengan penundaan cicilan bunga juga tetap, jadi itu dihitung bunga setahun lagi ke depan. Justru beban dia akan naik," ujar Aviliani.
Lebih lanjut Avikiani merincikan, jika relaksasi kredit atau penundaan cicilan diberlakukan kepada semua debitur, maka dampak ke perbankan akan besar, terutama pada rasio kredit bermasalah (NPL). Dia memperkirakan, NPL bank akan melonjak dari posisi per Februari 2020 di level 2,79 persen (gross) dan sebesar 1 persen (net).
Di negara lain, menurut Aviliani, sektor keuangan yang justru dijaga jangan sampai terpuruk, karena jika sektor keuangan jatuh, maka dampaknya bisa meluas ke sektor lain. "Saat ini NPL sudah sebesar ini, apalagi kalau diterapkan kepada semua debitur. Nanti, bisa lebih tinggi NPL-nya. Yang harus OJK pikirkan adalah, indikator kesehatan bank dan GCG, karena indikatornya akan turun semua," imbuhnya.
Ekonom senior Mirza Adityaswara menegaskan, jika kebijakan relaksasi kredit itu diterapakan kepada semua debitur maka akan merugikan dua sektor industri keuangan, yakni perbankan dan perusahaan pembiayaan (multifinance).
Jika kedua sektor ini terpuruk, maka kata mantan Deputi Gubernur Senior BI ini perekonomian nasional akan terganggu. "Perbankan harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan), tetapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur. Yang ada akan terjadi kerugian besar," ujar Mirza.
Dia menilai, perbankan akan menanggung beban jika seluruh debitur menangguhkan cicilan utang selama satu tahun. Terlebih lagi, sekitar 30 persen kredit perbankan merupakan kredit konsumsi dan sekitar 15-20 persen merupakan kredit UMKM . "Sehingga, kita menghadapi risiko default yang disengaja untuk eksposur sampai 50 persen kredit nasional atau setara dengan Rp2.500 triliun. Suatu jumlah yang pasti akan membangkrutkan ekonomi Indonesia," ucap Mirza.
(Budi)

Sumber : admin