Optimisme Negosiasi AS-China Menyusut, Pasar Wall Street Terjerembab
Wednesday, October 09, 2019       05:21 WIB

Ipotnews - Bursa ekuitas Wall Street anjlok, Selasa, karena meningkatnya ketegangan antara Beijing dan Washington meredupkan harapan untuk kesepakatan dalam perundingan perdagangan yang digelar pekan ini.
Dow Jones Industrial Average ditutup 313,98 poin lebih rendah, atau 1,19% menjadi 26.164,04, demikian laporan   CNBC   dan  AFP , di New York, Selasa (8/10) atau Rabu (9/10) pagi WIB.
Sementara itu, indeks berbasis luas S&P 500 merosot 1,56% atau 45,73 poin menjadi 2.893,06 sedangkan Nasdaq Composite Index menyusut 1,67% atau 132,52 poin menjadi 7.823,78.
Pasar Wall Street berada di zona merah sepanjang sesi setelah Departemen Perdagangan, Senin malam, mengumumkan pembatasan terbaru terhadap 28 entitas China atas pelanggaran hak asasi manusia, yang memicu kemarahan Beijing.
Saham semakin tertekan pada sesi petang setelah Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pembatasan visa bagi pejabat pemerintah China dan Partai Komunis yang diduga menganiaya umat Islam di China.
Langkah itu dilakukan menjelang perundingan perdagangan tingkat tinggi antara Amerika Serikat dan China yang akan dimulai Kamis.
Saham menemukan beberapa support setelah Chairman Federal Reserve Jerome Powell mengatakan bank sentral akan memperluas  balance sheet -nya "segera." Dia mencatat langkah ini akan digunakan sebagai respons terhadap masalah pendanaan baru-baru ini yang dihadapi pasar obligasi dalam beberapa pekan terakhir.
Yang pasti, ini bukan pelonggaran kuantitatif. Sebaliknya, Powell merujuk pada kenaikan yang lebih bertahap pada  balance sheet .
Memimpin pasar yang lebih luas untuk mencatatkan pelemahan adalah saham bank. Citigroup, Bank of America dan J.P. Morgan Chase masing-masing merosot lebih dari 1%. Sektor industri S&P 500 menyusut 1,6%, dipimpin oleh kejatuhan Caterpillar dan Deere. Saham raksasa teknologi seperti Facebook, Amazon dan Alphabet--induk usaha Google--juga berguguran.
"Kami menyiapkan lingkungan  risk-return  yang tidak menarik untuk pasar, dan kita melihat hal itu bermain hari ini," kata Mike Bailey, Direktur Riset FBB Capital Partners. Dia mencatat pasar berubah dari kekosongan berita perdagangan selama beberapa pekan terakhir dan kini mendapatkan "berita buruk."
"Tekanan terhadap China berputar dari situasi satu masalah menjadi banyak tekanan," katanya, mencatat perusahaan mencari tahu seberapa besar sentiment perdagangan akan berdampak pada mereka, tetapi sekarang harus menghadapi kekhawatiran pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
Dilaporkan  South China Morning Post , Beijing menurunkan ekspektasinya menjelang negosiasi perdagangan dengan Washington. Laporan tersebut mengatakan Wakil Perdana Menteri China Liu He - yang akan memimpin delegasi perdagangan negara itu - tidak akan membawa titel "utusan khusus," menandakan dia belum menerima instruksi khusus oleh Presiden Xi Jinping.
Namun, ada kebingungan tentang niat China seputar perdagangan. Dilaporkan  Global Times , China "dengan tulus" menantikan untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan AS.
Selain itu,  Bloomberg News  juga melaporkan Gedung Putih berupaya membatasi saham China dalam portofolio dana pensiun pemerintah. Saham emiten China yang melantai di bursa AS, Alibaba dan JD.com, masing-masing turun lebih dari 3,5%.
Gedung Putih menjadwalkan kenaikan tarif AS untuk barang-barang China senilai USD250 miliar menjadi 30% dari 25% pada 15 Oktober. Presiden Donald Trump mengatakan kenaikan tarif itu akan berlaku jika tidak ada kemajuan dalam negosiasi perdagangan bilateral.
"Perundingan perdagangan AS-China adalah fokus utama minggu ini," kata Tom Essaye, pendiri The Sevens Report.
Dua ekonomi terbesar dunia itu memberlakukan tarif barang satu sama lain bernilai miliaran dolar sejak awal 2018, menghancurkan pasar keuangan dan menekan sentimen bisnis dan konsumen.
Di sisi data, harga produsen AS mencatat penurunan terbesar dalam delapan bulan pada September, terseret oleh biaya barang dan jasa yang lebih rendah. Harga produsen adalah indikator inflasi dan penurunan itu dapat memberi Federal Reserve lebih banyak ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter. (ef)

Sumber : Admin