Pasar Masih Diliputi Ketidakpastian, Pilih ETF Berikut Sebagai Antisipasi...
Monday, November 11, 2019       10:50 WIB

Ipotnews - Perang dagang berkepanjangan yang menghambat pertumbuhan global masih menjadi penghalang keuntungan investasi di pasar saham, sehingga investor beralih ke portofolio fixed income dan pasar uang yang rendah risiko.
Terkait itu, Indo Premier Investment Management ( IPIM ) merekomendasikan investor memilih ETF berbasis luas (RLQ45 dan ) untuk meminimalkan volatilitas, juga ETF satelit IPIM seperti (SriKehati) dan (Pefindo I-Grade), yang keduanya memiliki bobot besar di saham , yang dianggap defensif saat ketidakpastian terjadi.
"Sebelumnya kami memilih (SM-Infra18) dan (Perusahaan Milik Negara) yang keduanya memiliki eksposur yang signifikan terhadap BUMN di sektor infrastruktur dan keuangan, sehingga paling berisiko terhadap intervensi pemerintah. Namun, kami percaya pasar juga bereaksi berlebihan terhadap faktor risiko ini, seperti yang telah terjadi di masa lalu, dan dengan demikian kami memperkirakan kedua ETF dapat memperoleh manfaat terbesar dari pemulihan pasar ekuitas (jika terjadi)," papar IPIM dalam risetnya, Senin (11/11).
Riset IPIM memaparkan, pasar global menguat empat pekan terakhir karena harapan perdagangan di tengah keraguan kenaikan tarif AS terhadap barang China. Pasar ekuitas secara global menopang tren kenaikan selama empat minggu terakhir karena harapan kesepakatan perdagangan AS-China meskipun Presiden Trump meragukan kerelaan AS untuk melonggarkan tarif, menyusul laporan sebelumnya bahwa para pejabat dari kedua negara setuju untuk menurunkan tarif yang sudah berlaku untuk barang satu sama lain dalam perjanjian fase satu yang sangat diharapkan terjadi. Optimisme pasar juga dipicu oleh rilis Neraca Perdagangan China pada Oktober yang menunjukkan penurunan Ekspor (-0,9% yoy) dan Impor (-6,4% yoy), tetapi lebih baik dari ekspektasi konsensus masing-masing -3,9% dan -8,9%.
Sayangnya, IHSG mengarah berlawanan dengan momentum positif tersebut, sehingga melanjutkan penurunan pada pekan kedua, setelah rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2019 dan rilis laba emiten yang relatif lemah, serta meningkatnya kekhawatiran investor terhadap kebijakan populis/intervensi pemerintah. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi jual bersih asing sebesar Rp1,96 triliun di pekan lalu saja (berbanding total penjualan bersih Rp21,1 triliun secara tahun berjalan/YTD).
Kabar pekan lalu dari pemerintah yang meminta untuk membatalkan rencananya untuk menaikkan harga gas serta permintaan Presiden Jokowi kepada bank untuk menurunkan suku bunga pinjaman, termasuk pinjaman kredit mikro KUR, telah mengingatkan para investor tentang sikap intervensi pemerintah, yang menyebabkan aksi jual besar-besaran pada sebagian besar saham-saham berkapitalisasi besar, termasuk di sektor konsumen.
Untuk sepekan ke depan, sejumlah perkembangan dan data ekonomi patut menjadi perhatian investor, yakni rilis data pertumbuhan produksi industri Uni Eropa (Rabu, 17.00 WIB), data inflasi AS pada Oktober (Rabu, 20.30 WIB), tertimoni Chairman The Fed (Rabu, 23.00 WIB), data pertumbuhan produksi industri dan data penjualan eceran China (Kamis, 09.00 WIB), data pertumbuhan ekonomi Jerman kuartal III (Kamis, 14.00 WIB), Neraca Perdagangan Indonesia Oktober (Jumat, 11.00 WIB), data penjualan eceran AS Oktober (Jumat, 20.30 WIB) sekaligus data produksi industri AS Oktober (Jumat, 21.15 WIB).
Khusus untuk data perdagangan Indonesia Oktober, perkiraan konsensus adalah surplus tipis USD0,1 miliar yang akan berbanding defisit USD0,16 miliar pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, pada akhir pekan lalu, diumumkan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal III 2019 yang menunjukkan defisit USD7,7 miliar (2,7% dari PDB) berbanding defisit USD8,2 miliar pada kuartal II (2,9% dari PDB).
"Meskipun defisit neraca transaksi berjalan yang lebih rendah itu ditopang defisit neraca migas yang lebih rendah sebuah berita positif, defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi menjadi perhatian utama untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehubungan dengan aliran masuk dana asing ke portofolio obligasi yang kuat dalam tahun ini.
Kesimpulannya, menurut riset IPIM , perlambatan pertumbuhan global dan ketegangan perdagangan mengaburkan prospek pasar ekuitas global, khususnya di pasar negara berkembang, dan telah menyebabkan aliran portofolio bergeser ke arah pendapatan tetap dan pasar uang yang kurang berisiko.
Sementara investor asing telah melakukan aksi jual bersih terhadap ekuitas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. "Kami percaya IHSG dapat pulih dan masih mencapai target 6.500 kami untuk 2019 seandainya pembicaraan perdagangan AS-Cina menghasilkan kesepakatan yang langgeng dan ketika perdagangan dan manufaktur global mulai menunjukkan tanda-tanda kenaikan."

Sumber : admin

berita terbaru
Thursday, Apr 25, 2024 - 17:42 WIB
Indonesia Market Summary (25/04/2024)
Thursday, Apr 25, 2024 - 17:33 WIB
Perubahan Kepemilikan Saham FOLK, Beli dan Jual
Thursday, Apr 25, 2024 - 17:27 WIB
Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan BRIS
Thursday, Apr 25, 2024 - 17:22 WIB
Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan WTON
Thursday, Apr 25, 2024 - 17:19 WIB
Financial Statements 1Q 2024 of NIKL
Thursday, Apr 25, 2024 - 16:58 WIB
Perubahan Kepemilikan Saham BJBR, Beli
Thursday, Apr 25, 2024 - 16:27 WIB
Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan RALS