Pergeseran Strategi Investasi dari Aktif ke Pasif dan Implikasinya Terhadap Stabilitas Finansial
Monday, February 08, 2021       14:25 WIB

Pergeseran strategi investasi aktif ke investasi pasif merupakan fenomena global, dan diperkirakan telah berlangsung selama paling tidak dua dekade.
Strategi investasi aktif adalah strategi yang memberikan keleluasaan kepada Manajer Investasi untuk memilih saham-saham atau obligasi yang akan dibeli dalam portofolio, demikian juga jumlah saham atau obligasi itu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan imbal hasil (kinerja) yang setinggi mungkin. Contoh strategi investasi aktif adalah semua reksadana konvensional (reksadana saham, pendapatan tetap, campuran, dan pasar uang), kecuali reksadana indeks.
Strategi investasi pasif adalah strategi investasi di mana Manajer Investasi tidak memiliki kewenangan apapun untuk menentukan saham-saham atau obligasi-obligasi mana yang akan dibeli dalam portofolio. Dalam strategi investasi pasif, suatu saham atau obligasi hanya akan dibeli apabila saham atau obligasi itu ada dalam indeks yang menjadi rujukan portfolio investasinya. Tujuan investasi bukanlah mendapatkan kinerja (imbal hasil) yang setinggi mungkin, tetapi mendapatkan imbal hasil portofolio yang setara (sedekat mungkin) dengan indeks rujukan.
Ada dua cara yang umum dilakukan oleh Manajer Investasi untuk mengimplementasikan strategi investasi pasif ini.
Cara pertama adalah cara replikasi penuh ( full replication ), yaitu membeli semua saham atau obligasi yang membentuk indeks rujukan, dalam proporsi yang sama dengan bobot masing-masing saham, atau obligasi tersebut, dalam indeks rujukan tersebut.
Cara kedua adalah membeli sebagian saja ( sample ) dari saham-saham atau obligasi-obligasi dalam indeks rujukan. Saham-saham atau obligasi-obligasi yang dibeli adalah saham-saham atau obligasi-obligasi yang, secara bersama-sama, pergerakan harganya menyerupai pergerakan harga indeks rujukan.
Cara kedua ini disebut juga metode  sampling . Metode sampling ini biasanya dipilih jika indeks yang menjadi rujukan terlalu besar, atau memiliki konstituen saham atau obligasi yang tidak likuid atau sukar diperoleh.
Pergeseran strategi investasi ini paling kentara pada instrumen investasi reksadana terbuka ( open ended fund ) dan reksadana bursa ( exchange traded fund ) yang merupakan sarana investasi publik. Karena di Indonesia kita tidak memiliki data yang memadai mengenai investasi reksadana konvensional ( mutual fund ) dan ETF, kita akan mengambil data di Amerika Serikat sebagai pembanding.
Di Amerika Serikat, per bulan Maret 2020 persentase strategi investasi pasif - yang merupakan gabungan dari reksadana terbuka ( mutual fund ) dan reksadana bursa (ETF) -adalah 41%. Jumlah ini meningkat pesat sekali dibandingkan angka 14% pada tahun 2005 dan hanya 3% pada tahun 1995.
Pergeseran strategi investasi dari aktif ke pasif, terjadi pada semua kelas aset. Di Amerika Serikat, per Maret 2020, reksadana ekuitas yang pasif membentuk 48% dari total AUM ( asset under management ) . Sementara itu, reksadana pendapatan tetap yang pasif membentuk 30% dari AUM, di mana porsi keduanya masing-masing masih di bawah 5% pada tahun 1995.
Pergeseran strategi investasi dari aktif ke pasif ini mempengaruhi stabilitas financial melalui berbagai efek yang ditimbulkannya terhadap setidaknya empat hal di bawah ini.
Pertama, terhadap resiko likuiditas reksadana dan resiko penjualan kembali ( redemption risk ). Kedua, terhadap resiko volatilitas harga pasar dari saham-saham atau obligasi-obligasi. Ketiga, terhadap resiko konsentrasi industri aset manajemen. Dan yang keempat atau terakhir adalah terhadap resiko pergerakan berbarengan ( co-movement ) dari imbal hasil ( return ) dan likuiditas asset.
Di sini kita hanya akan membahas pengaruh pergeseran strategi investasi dari aktif ke pasif terhadap resiko likuiditas dan resiko penjualan kembali reksadana saja.
Demikian pula, ketika pemodal mengalihkan investasinya dari reksadana yang dikelola aktif ke reksadana yang dikelola pasif, telah dianggap bahwa semua dana masuk ke reksadana bursa (ETF). Telah dianggap bahwa tidak ada dana yang masuk ke dalam reksadana konvensional berbentuk reksadana indeks dan bahwa semua reksadana bursa (ETF) bersifat pasif.
Resiko likuiditas dan penjualan kembali ( redemption ) adalah resiko yang terjadi pada reksadana jika pemodal melakukan penjualan kembali, terutama apabila penjualan kembali tersebut dilakukan karena pengaruh ikutan setelah melihat pemodal yang lain melakukan penjualan kembali.
Secara intuitif kita tahu bahwa pemodal reksadana aktif sangat sensitif terhadap kinerja reksadana, dalam arti bahwa reksadana aktif yang menunjukkan performa (kinerja) yang bagus akan mengalami arus dana masuk ( inflow ).
Sementara itu, reksadana aktif yang menunjukkan performa (kinerja) yang buruk akan mengalami arus dana keluar ( outflow ). Sensifitas arus dana (masuk dan keluar) terhadap kinerja reksadana, bagaimanapun juga, hanya terjadi di reksadana aktif.
Untuk reksadana bursa yang bersifat pasif, kinerja Manajer Investasi bukanlah faktor dalam menentukan pilihan investasi. Sedari awal pemodal reksadana bursa (ETF) sudah mengetahui bahwa mereka tidak mencari Manajer Investasi berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan kinerja paling tinggi, tetapi Manajer Investasi yang memberikan hasil setara dengan indeks rujukan.
Kita akan menganalisis resiko likuiditas dan resiko penjualan kembali ini berdasarkan pengaruh pergeseran strategi investasi dari aktif ke pasif.
Pada reksadana terbuka konvensional ( open ended mutual fund ), pemodal berhak untuk melakukan penjualan kembali setiap saat dan Manajer Investasi berkewajiban untuk membayar penjualan kembali tersebut dengan tunai, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja, tidak peduli kondisi likuiditas reksadana.
Pada kondisi normal, penjualan kembali dilakukan oleh pemodal secara terpisah antara pemodal yang satu dengan pemodal yang lain. Namun pada kondisi ' rush ', para pemodal beramai-ramai melakukan penjualan kembali secara serentak.
Berbeda dengan reksadana terbuka konvensional ( open ended fund ) yang membayarkan penjualan kembali dengan tunai, pada reksadana bursa (ETF) pemodal dapat menjual Unit Penyertaan miliknya tidak kepada Manajer Investasi, tetapi langsung kepada pemodal lainnya di bursa.
Khusus untuk pemodal besar, di samping dapat menjual unit miliknya kepada pemodal lain di bursa, pemodal besar ini juga dapat menjual kembali Unit Penyertaan miliknya kepada Manajer Investasi, sama seperti penjualan kembali ( redemption ) reksadana  open ended .
Bedanya adalah, pertama penjualan kembali kepada Manajer Investasi harus dalam satuan Unit Kreasi atau kelipatannya (1 Unit Kreasi umumnya adalah 100.000 Unit Penyertaan), dan kedua pembayaran penjualan kembali oleh Manajer Investasi dilakukan tidak dalam bentuk tunai.
Kalau pembayaran penjualan kembali ( redemption ) reksadana bursa (ETF) tidak dalam bantuk tunai, apa yang diterima oleh pemodal yang melakukan penjualan kembali ( redeemer )?
Prosedur penjualan kembali reksadana bursa sedikit berbeda dengan penjualan kembali reksadana terbuka konvensional yang telah dikenal. Pemodal yang melakukan penjualan kembali unit penyertaan reksadana bursa (ETF) tidak dapat menjual kembali unit penyertaan miliknya langsung kepada Manajer Investasi, tetapi harus menyerahkan unit penyertaan tersebut kepada Dealer Partisipan, dalam satuan Unit Kreasi.
Dealer Partisipan adalah perusahaan sekuritas besar yang telah menanda-tangani Perjanjian Dealer Partisipan dengan Manajer Investasi ETF untuk melakukan pembelian Unit Penyertaan ETF atau melakukan penjualan kembali Unit Penyertaan ETF untuk kepentingan pemodal.
Selanjutnya, Manajer Investasi yang menerima Unit Penyertaan ETF dari Dealer Partisipan akan membayarkan unit tersebut dengan cara menyerahkan sekeranjang saham-saham (atau obligasi-obligasi) yang nilainya sama dengan nilai Unit Penyertaan ETF yang dijual kembali tersebut kepada Dealer Partisipan.
Jika ternyata pemodal menginginkan tunai sebagai pembayaran penjualan kembali Unit Penyertaan ETF miliknya, maka Pemodal dapat meminta Dealer Partisipan untuk menjual keranjang saham-saham (atau obligasi-obligasi) tersebut di bursa. Semua biaya komisi broker dan biaya pajak  capital gain  untuk penjualan tersebut menjadi beban pemodal.
Penyerahan sekeranjang saham-saham (atau obligasi-obligasi) ini sebagai pembayaran penjualan kembali Unit Penyertaan ETF dalam satuan Unit Kreasi, dan bukan uang tunai seperti halnya dalam reksadana konvensional, disebut pembayaran secara  in-kind  (bukan  in-cash  yang biasa dikenal).
Tujuan pembayaran penjualan kembali secara  in-kind , dan bukan secara tunai, adalah supaya semua biaya penjualan saham-saham (atau obligasi-obligasi) untuk membayar pemodal yang melakukan penjualan kembali, ditanggung oleh pihak yang melakukan penjualan kembali.
Bandingkan misalnya dengan pembayaran penjualan kembali reksadana terbuka konvensional (secara tunai). Dalam hal ini, semua pemodal reksadana harus ikut menanggung biaya komisi broker dan pajak  capital gain  (PPh) walaupun sesungguhnya mereka tidak melakukan apa-apa.
Sebagai kesimpulan, terjadinya pergeseran strategi investasi dari aktif menjadi pasif - dimana pemodal sebelumnya berinvestasi pada reksadana aktif, lalu kemudian pemodal mengalihkan investasinya ke reksadana bursa (ETF) yang pasif - maka pergeseran strategi investasi ini tidak akan memperburuk resiko likuiditas reksadana.
Bahkan, kalau penjualan kembali yang dilakukan pemodal reksadana aktif dapat mempengaruhi pemodal lain untuk ikut melakukan penjualan kembali ( redemption ), maka dalam reksadana pasif hal ini tidak terjadi. Artinya, pertumbuhan reksadana bursa (ETF) akan membawa pengaruh positif terhadap stabilitas financial.
Kemudian, berbeda dengan kondisi pembayaran penjualan kembali ( redemption ) reksadana aktif secara tunai, pembayaran penjualan kembali ( redemption ) pada reksadana bursa yang dilakukan secara  in-kind  tidak akan menyebabkan terjadinya krisis likuiditas pada reksadana.
Bahkan seandainya terjadi ' rush ' dimana para pemodal secara serentak melakukan penjualan kembali, karena Manajer Investasi reksadana bursa akan membayar  redemption  itu dengan saham-saham (atau obligasi-obligasi) dan tidak terpengaruh kondisi likuiditas reksadana.
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA. 

Sumber : IPS