Poundsterling bergantung pada Brexit
Friday, August 10, 2018       08:56 WIB

JAKARTA. Isu  hard-Brexit  kembali memanas. Hal ini sempat membuat kurs poundsterling terkapar. Bahkan. pada Rabu (8/8), poundsterling mencetak rekor terburuknya terhadap mata uang utama dunia lain di tahun ini.
Namun, kemarin (9/8), GBP mulai sedikit bertenaga. Buktinya, pasangan EUR/GBP melemah 0,3% ke level 0,8985. Serupa,  pairing  GBP/USD juga menguat tipis 0,15% menjadi 1,2901. Sementara  pairing  GBP/JPY menanjak 0,21% ke posisi 143,258.
Sebenarnya keperkasaan poundsterling datang setelah mata uang Inggris tersebut kompak melemah di hadapan seluruh mata uang utama. Namun, kini GBP mulai mendapat suntikan tenaga jelang pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 dan pengumuman produksi manufaktur bulan Juni, yang akan dirilis malam ini.
"Memang, kedua data tersebut diestimasi lebih rendah dari sebelumnya. Hal ini akan menekan poundsterling ke depan, tapi mampu memberi sedikit tenaga bagi GBP untuk sesaat," kata analis Monex Investindo Futures Dini Nurhadi Yasyi, Kamis (9/8).
Menurut konsensus prediksi analis, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Inggris pada periode April-Juni 2018 mencapai 0,4%. Sementara produksi manufaktur diperkirakan tumbuh melambat, yakni sebesar 0,3%.
Tekanan bagi GBP juga semakin bertambah besar setelah Gubernur Bank of England (BoE) Mark Carney menyatakan bahwa perekonomian Inggris diperkirakan akan lesu selama kesepakatan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa atawa Brexit belum mencapai titik terang.
Apalagi jika  hard-Brexit  benar-benar terjadi, maka posisi poundsterling semakin tergoyahkan. "Menang  hard-Brexit  menjadi ketakutan terbesar bagi pelaku pasar tehadap ekonomi Inggris," tambah analis Global Kapital Investama Nizar Hilmy.
Ketakutan tersebut juga kembali ditegaskan Menteri Perdagangan Inggris Liam Fox. Ia menyebut bahwa probabilitas Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan telah mencapai 60%.
Ketidakpastian yang tinggi terhadap masa depan Inggris membuat mata uang poundsterling merosot tajam. "Inggris dijadwalkan meninggalkan Uni Eropa pada 29 Maret 2019 nanti, tetapi tim negosiasi masih belum memiliki rincian kesepakatan untuk mempertahankan perdagangan tanpa gesekan," ujar analis Rifan Financindo Berjangka Puja Purbaya Sakti.
Tapi Puja melihat kemungkinan poundsterling menguat dalam jangka pendek berkat data neraca dagang Inggris di Juni yang diperkirakan membaik. Defisit perdagangan diprediksi berkurang dari 2,79 miliar menjadi 2,5 miliar.
Namun hal tersebut belum mampu membuat GBP terus mengungguli USD. Mengingat dollar Amerika Serikat (AS) masih diselimuti sentimen positif. Seperti peluang kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve di bulan September dan Desember serta efek perang dagang antara China dan AS.
Posisi USD yang menjadi aset lindung nilai juga tak mampu dilampaui oleh poundsterling. Alhasil,  the greenback  diprediksi dapat kembali melaju walau diselingi koreksi teknikal sesaat.
Sementara keunggulan EUR atas poundsterling memang terjadi utamanya karena katalis negatif yang melingkupi GBP. Padahal euro pun belum ada suntikan tenaga tambahan. Ini terlihat dari data neraca dagang Jerman dan Prancis yang di bawah proyeksi.
Nasib serupa juga dialami yen. Keperkasaan JPY atas poundsterling memang lebih disebabkan tekanan yang dihadapi GBP. Terlebih yen memang tidak memiliki sentimen positif yang dapat secara signifikan menggerakkan mata uang  safe haven  ini.
Yen juga masih tertekan akibat kebijakan bank sentral Jepang. "Fokus pasar masih pada kebijakan Bank Sentral Jepang (BoJ) yang  dovish  dan sentimen perang dagang, sepertinya ini yang membuat posisi yen sebagai  safe haven  melemah," ujar Dini.
Belum lagi data neraca transaksi berjalan Jepang kembali berkurang menjadi sebesar 1,76 triliun.

Sumber : KONTAN.CO.ID