Sektor Konsumer Diuntungkan Rendahnya Harga Komoditas untuk Pertahankan Margin
Wednesday, September 18, 2019       16:26 WIB

Ipotnews - Rendahnya daya beli masyarakat bakal menyulitkan perusahaan consumer yang menjual kebutuhan pokok untuk mencetak pertumbuhan laba  double-digit  saat ini.
"Dengan semua asumsi lainnya tidak berubah, kami pikir mendapatkan pangsa pasar dan efisiensi biaya yang lebih baik akan menjadi tantangan bagi perusahaan-perusahaan tersebut," demikian analisa Tim Riset PT Indo Premier Sekuritas, yang dipublikasikan di Jakarta, Rabu (18/9).
Namun, meski daya beli masyarakat sangat lemah pada semester pertama 2019, perusahaan yang bergerak di bidang kebutuhan pokok akan mendapatkan keuntungan dari harga beberapa bahan baku utama yang lebih rendah, seperti gandum, gula, kopi, dan CPO.
"Dan ini sangat memungkinkan bagi emiten-emiten tersebut untuk mempertahankan margin," kata Tim Riset Indo Premier Sekuritas.
Lantas, bagaimana perkembangan harga komoditas global dan dampaknya terhadap kinerja sejumlah emiten yang bergerak di sektor bahan pokok? Berikut penjelasan Tim Riset Indo Premier:
Gandum
Harga gandum global tampaknya tetap flat untuk sisa tahun ini, meski peningkatan kecil harus diantisipasi untuk proyeksi 2020, karena produksi yang lebih rendah. USDA mengantisipasi sedikit penurunan produksi gandum musim depan karena penurunan hasil panen terkait cuaca di sejumlah produsen di Eropa Tmur dan Asia Tengah.
Harga gandum terus menyusut sejak menyentuh level tertinggi ( year-to-date ) pada Juni lalu, yakni USD547 per  bushel , dan Tim Riset Indo Premier meyakini tren itu akan tetap berlanjut atau setidaknya relatif flat hingga akhir 2019.
Meski muncul tekanan terhadap produksi gandum global dalam beberapa bulan terakhir akibat cuaca panas dan kekeringan di banyak bagian Eropa, produksi gandum global ( year-to-date ) masih melambung 37,5% ( year-on-year ).
Harga gandum terutama berkorelasi dengan margin laba kotor PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (), di mana 64% dari penjualan semester pertama 2019 disumbangkan oleh penjualan mie, sementara, sebagian besar juga mendukung margin laba kotor PT Mayora Indah Tbk (), yang kontributor penjualan terbesarnya adalah produk biskuit.
Gula
Demikian pula dengan harga gula global, yang mengalami penurunan stabil dalam beberapa bulan terakhir, dan diperkirakan relatif  flat  pada akhir tahun.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), penurunan harga gula lebih disebabkan surplus ekspor yang besar dari India dan Thailand, ditambah peningkatan produksi domestik dari sejumlah negara importir gula, seperti China, Indonesia dan Amerika Serikat.
"Selain itu, kita juga mulai melihat tren pergeseran dalam konsumsi gula, baik secara domestik maupun global, ketika orang-orang mulai berpikir lebih maju dengan pola hidup lebih sehat dan lebih sedikit mengkonsumsi gula," kata Indo Premier.
Meski demikian, indikasi awal FAO untuk proyeksi 2019/2020 masih menunjukkan bahwa konsumsi gula global akan melampaui produksi, walau pada margin yang sangat kecil.
"Karena itu, kami meyakini harga gula bisa meningkat dalam jangka pendek hingga menengah, membebani sejumlah perusahaan dengan komponen biaya gula yang tinggi seperti (10% dari total beban pokok penjualan) dan (16% dari total beban pokok penjualan)," paparnya.
Susu
Proyeksi terhadap produksi susu global tampaknya kurang positif ke depan, karena itu, Tim Riset Indo Premier memperkirakan terjadi kenaikan harga produk susu.
Menurut US Dairy Export Council (USDEC), untuk kali pertama sejak 2016, sebagian besar eksportir utama tidak akan memiliki banyak kelebihan produksi untuk diekspor dan stok susu bubuk tanpa lemak ( skim milk powder /SMP) akan semakin memburuk.
Cuaca yang kurang menguntungkan dan regulasi fosfat di Uni Eropa berdampak signifikan terhadap produksi susu global, karena UE tetap menjadi eksportir susu terbesar di dunia. Pada kuartal pertama 2019 produksi susu UE turun sekitar 1,5% ( year-on-year ), sementara kenaikan produksi di Selandia Baru masih belum bisa mengimbangi penyusutan tersebut.
"Kami memperkirakan sedikit atau tidak ada pertumbuhan dalam produksi susu global untuk sisa tahun ini, bakal mendongkrak harga. Harga susu yang lebih tinggi akan berdampak buruk terhadap perusahaan-perusahaan dengan paparan yang lebih tinggi pada produk susu sebagai bahan baku utama mereka, yaitu ," papar Indo Premier, yang memprediksi susu menyumbang sekitar 5% dari biaya bahan baku .
Kopi
Harga kopi Arabika dan Robusta merosot signifikan pada kuartal pertama 2019, diperkirakan -5% (y-o-y) menurut data Bank Dunia. Ini merupakan level terendah 11-tahun untuk harga kopi Arabika. Kejatuhan harga ini dipicu rekor produksi global yang mencapai 172 juta kantong pada 2018 dari 158 juta di 2017, yang menyebabkan peningkatan stok hingga 10 juta kantong. Peningkatan produksi tersebut berasal dari Brasil dan Vietnam, yang masing-masing merupakan pemasok Arabika dan Robusta terbesar di dunia.
"Ke depan, kami tetap memperkirakan harga kopi global lebih rendah, karena tahun panen mendatang diprediksi tetap tinggi dan lebih lemah dari ekspektasi konsumsi kopi global," ujar Tim Riset Indo Premier.
"Hal ini akan berdampak positif terhadap biaya dan margin , dalam pandangan kami, mengingat kopi menyumbang sekitar 10% dari biaya bahan bakunya."
Minyak Sawit
Prospek minyak sawit (CPO) untuk tahun ini tampaknya tetap suram, terutama karena kelebihan pasokan dan penurunan permintaan secara drastis. Indo Premier meyakini harga CPO masih akan berada di bawah tekanan setidaknya untuk sisa tahun ini, mengingat permintaan dari UE, importir CPO terbesar kedua, menurun cukup signifikan karena kekhawatiran atas kemungkinan kerusakan lingkungan dari budidaya kelapa sawit. "Selain itu, potensi permintaan impor China juga tidak pasti karena perang dagang dengan Amerika masih berlanjut," katanya.
Namun, prospek harga CPO pada 2020 tampaknya lebih positif di belakang proyeksi peningkatan permintaan dari implementasi biodiesel B30 dan potensi B50 dalam waktu dekat.
Menurut analis komoditas Indo Premier, penerapan B30 bahkan dapat membawa pasokan CPO global menjadi defisit sekitar 1,5 juta ton pada 2020 (pada 2018 tercatat surplus sekitar 1,5 juta ton). "Harga CPO yang lebih tinggi merupakan sentimen positif bagi PT Indofood Sukses Makmur Tbk () karena bisnis CPO-nya menyumbang sekitar 15% dari total pendapatan perusahaan tersebut," kata Indo Premier.
Minyak Mentah
Bank Dunia memperkirakan rata-rata harga minyak USD66 per barel pada 2019 dan USD65 per barel untuk proyeksi 2020. Angka ini merupakan revisi ke bawah dari prediksi awal 2019, yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi global lebih lemah ketimbang ekspektasi dan lebih besar dari perkiraan peningkatan produksi minyak Amerika.
Selain itu, US Bank juga memangkas proyeksi harga minyak Brent untuk 2019 menjadi USD60 per barel dari USD65, dan prospek pertumbuhan permintaan minyaknya menjadi 800 ribu barel per hari dari 1 juta barel per hari untuk 2019.
"Dalam pandangan kami, ada lebih banyak potensi  downside  untuk harga minyak ke depan, karena pertumbuhan permintaan diperkirakan melambat dan perang perdagangan AS-China yang terus berlanjut bakal melukai ekonomi global," tutur Indo Premier, yang mencatat hingga pekan lalu, harga minyak mentah anjlok lebih dari 20% dari level tertinggi USD75 pada periode April ( year-to-date ).
Meski demikian, tutur Indo Premier, serangan terhadap fasilitas minyak terbesar Arab Saudi, akhir pekan lalu, dapat mengurangi setengah produksi minyak Kerajaan itu, bisa mendorong harga minyak lebih tinggi - sehingga melukai sebagian besar perusahaan konsumer, antara lain biaya pengemasan dan bahan baku yang lebih tinggi. (Tim Riset Indo Premier)

Sumber : Admin