Tekanan Dolar Kibarkan Bendera Merah di Pasar Utang Asia
Thursday, March 26, 2020       16:48 WIB

Ipotnews-Kelangkaan dolar AS di pasar uang dunia, memunculkan retakan di  emerging market  Asia, menggerus simpanan cadangan devisa yang dihimpun selama bertahun-tahun.
Tekanan dolar AS menyebabkan kenaikan beban utang Asia. Menurut data yang dikumpulkan Bloomberg, pembayaran utang sejumlah negara Asia Tenggara dan India, beserta perusahaan-perusahaannya akan melonjak 67% pada 2022 menjadi USD41,9 miliar. Pembayaran utang dolar diperkirakan akan mencapai USD44,4 miliar pada tahun 2024.
Ketika Federal Reserve telah berkelana ke wilayah yang belum dipetakan, untuk memerangi perlambatan ekonomi AS, Indonesia, Malaysia, dan India mngalami tekanan karena wabah virus korona melumpuhkan sebagian besar perekonomian, menekan mata uang, dan mendorong pemerintah untuk memperluas defisit fiskal.
Situasi tersebut mengagetkan  emerging  Asia, yang dianggap relatif terlindungi dibanding negara-negara lain di dunia, mengingat cadangan devisa yang melimpah, surplus neraca transaksi berjalan di sejumlah negara, dan memiliki banyak jalur pertukaran regional untuk mngatasi krisis.
"Tidak ada yang akan menghadapi tekanan neraca pembayaran di sini," kata Christian de Guzman, wakil presiden senior di Moody's Investors Service, Singapura.
"Tetapi mengingat kondisi pasar saat ini, opsi r efinancing  bagi mereka mungkin agak sulit. Sudah ada beberapa tekanan pada mata uang lokal, sehingga benar-benar meningkatkan biaya pendanaan," ujarnya seperti dikutip Bloomberg.
Indonesia dan India menjadi perhatian khusus, mengingat defisit kembar pada anggaran dan neraca transaksi berjalan yang membuat keduanya lebih bergantung pada arus masuk modal asing dibanding EM Asia lainnya.
Tekanan fiskal mulai meningkat di Indonesia, di mana pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan batas defisitnya menjadi 5% dari PDB dari 3%. Bank sentral memperkirakan defisit transaksi berjalan akan mencapai 2,5% -3% dari PDB pada tahun ini. Dengan kepemilikan obligasi pemerintah dalam rupiah oleh investor asing mencapai 35%, termasuk tertinggi di Asia.
Rupiah telah melemah sekitar 16% terhadap dolar tahun ini, menjadikannya mata uang berkinerja terburuk di Asia. Situasi terrsebut akan memberi tekanan pada perusahaan-perusahaan yang membiayai kembali utang dolar mereka, kata Xavier Jean, direktur senior untuk peringkat perusahaan, di S&P Global Ratings, Singapura.
"Kualitas kredit perusahaan Indonesia secara keseluruhan telah menurun secara stabil dalam tiga tahun terakhir, karena belanja modal yang stabil, meningkatnya utang, tekanan persaingan yang ketat, dan kondisi operasi yang lebih menantang, terutama di sektor real estat," Jean menambahkan.
Hampir sepertiga dari peringkat kredit di sektor korporasi Indonesia, tidak termasuk perusahaan milik negara, berada dalam prospek negatif - menandakan semakin memburuknya profil kredit mereka selama tiga hingga 12 bulan ke depan, level tertinggi sejak krisis keuangan global, kata Jean.
Di antara delapan pasar obligasi pemerintah dalam mata uang lokal di EM Asia yang dilacak Bloomberg, Indonesia dan Malaysia sejauh ini telah mencatatkan kerugian terbesar pada bulan ini, masing-masing sebesar 19% dan 10% dalam dolar. Imbal hasil obligasi 10-tahun Indonesia naik menjadi 8,38%, terbesar sejak 2018, sedangkan obliogasi Malaysia naik menjadi 3,58%, mendekati level tertinggi delapan bulan.
Di India, tekanan serupa juga sedang berlangsung. Berdasarkan data Bloomberg. hingga 23 Maret lalu, pemodal asing global telah menjual bersih USD7 miliar utang dalam mata uang rupee. Rupee anjlok ke level terendah sepanjang masa setelah pemerintah India menerapkan  lockdown  di negara dengan 1,3 miliar penduduk itu.
Aksi jual di pasar menunjukkan Indonesia dan India sebagai yang "paling banyak, dan semakin, bermasalah," kata Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank Ltd., Singapura. Penurunan mata uang dan pembayaran utang luar negeri bisa menambah permasalahan yang sudah ada, katanya. (Bloomberg)

Sumber : Admin