Pasar Cermati Rencana Belanja Pemerintah, Khususnya dari Sisi Transparansi dan Inisiatif Produktif - Ashmore
Saturday, September 27, 2025       19:45 WIB
  • IHSG naik 0,73% ke 8.099 dan sempat mencatat rekor penutupan 8.125 serta intraday 8.169, investor asing mencatat arus masuk USD272 juta dalam sepekan.
  • Rupiah melemah ke sekitar Rp16.700 dipicu kuatnya data AS, defisit fiskal melebar, dan pemangkasan suku bunga BI.
  • Ashmore menilai BI akan tetap menjaga stabilitas,yield obligasi tenor panjang memberi peluang investasi menarik.

Ipotnews - Bursa saham Indonesia mengakhiri sesi perdagangan pekan keempat September, Jumat (27/9), dengan mencatatkan kenaikan IHSG sebesar 0,73% ke 8.099. Sebelumnya, IHSG sempat mencatat rekor penutupan dan intraday tertinggi di posisi 8.125 dan 8.169 pada 23 dan 24 September. Investor asing di pasar saham mencatatkan arus masuk sebesar USD272 juta dalam sepekan terakhir.
 Weekly Comentary  PT Ashmore Asset Management Indonesia mencatat beberapa peristiwa penting pekan ini sebagai berikut:

Apa yang terjadi selama sepekan terakhir
Ashmore mencatat, kenaikan IHSG pekan ini didukung sektor yang mencatatkan kinerja terbaik yaitu sektor Industri (+7,79%) dan Konsumen Non-Siklikal (+6,34%). Adapun sektor yang tertinggal adalah sektor Transportasi & Logistik dengan melemah -0,14%.
Aset global berkinerja terbaik pekan ini adalah Minyak Mentah (+3,78%) dan Emas (+1,74%), sedangkan terjadi koreksi pada Bitcoin (-5,10%) dan harga Batu Bara (-1,74%).
Di Amerika Serikat, Ashmore mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal II tercatat lebih kuat dari perkiraan, dengan laju tahunan tercepat sejak kuartal III-2023, terutama karena revisi naik konsumsi masyarakat. Pesanan barang tahan lama juga meningkat setelah dua bulan berturut-turut kontraksi. Klaim awal pengangguran mingguan turun ke level terendah dalam dua bulan.
Di Eropa, PMI komposit terus menunjukkan perbaikan terutama ditopang sektor jasa, sementara sektor manufaktur justru kembali terkontraksi. Jerman mencatat penurunan pertama pada indeks kepercayaan bisnis tahun ini, mencerminkan meningkatnya pesimisme perusahaan lokal. Inggris juga melaporkan PMI manufaktur dan jasa yang lebih buruk dari perkiraan pada September. Lemahnya permintaan domestik dan ekspor membebani sektor manufaktur.
Sementara di Asia, Ashmore mencatat bahwa langkah China mempertahankan tingkat suku bunga pinjaman ( loan prime rates ) di rekor terendah sesuai ekspektasi, merupakan upaya PBOC mendorong pertumbuhan domestik. Jepang mengalami penurunan tajam pada PMI manufaktur, menandai kontraksi selama 14 bulan berturut-turut akibat penurunan pesanan baru sejak April.
"Sementara itu, Indonesia mencatat pertumbuhan jumlah uang beredar M2 pada Agustus lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya, yakni 6,6%," tulis Ashmor.
Pelemahan Rupiah
Ashmore mencermati, pekan ini, pertumbuhan ekonomi AS kuartal II mencatat kejutan positif, dengan revisi naik konsumsi masyarakat sebagai pendorong utama. Data klaim awal pengangguran juga turun tajam setelah dua minggu lalu sempat menyentuh level tinggi historis, menyusul pemangkasan suku bunga oleh The Fed akibat kondisi pasar tenaga kerja yang melemah. "Meski demikian, data mingguan ini bersifat volatil sehingga belum cukup untuk menentukan tren hanya berdasarkan kurang dari satu bulan," ungkap Ashmore.
Ashmore juga mencermati berlanjutnya pelemahan Rupiah dengan cepat pada pekan ini. Pada penutupan pasar, Rupiah berada di sekitar Rp16.700, masih di bawah level tertinggi tahun ini di Rp16.870 pada April. "Pelemahan ini sebagian dipicu oleh kuatnya data ekonomi AS yang mendorong DXY naik ke 98,5 dari titik terendah bulan ini di 96,6, serta kekhawatiran investor global terkait perubahan kebijakan domestik seperti defisit fiskal yang melebar dan reshuffle kabinet," sebut Ashmore.
Selain itu, Ashmore menggarisbawahi bahwa pemangkasan suku bunga oleh BI (lebih cepat dari ekspektasi pemangkasan The Fed) juga memberi tekanan pada Rupiah, meski BI menegaskan komitmennya menjaga stabilitas mata uang melalui intervensi di pasar domestik maupun  offshore . "Fokus BI tampaknya lebih condong pada pertumbuhan domestik, memberi ruang bagi Rupiah, namun tetap melakukan intervensi aktif untuk menekan lonjakan volatilitas," papar Ashmore.
Ashmore melihat bahwa salah satu berita utama yang memengaruhi Rupiah adalah proyeksi defisit fiskal 2026 yang melebar dari 2,48% menjadi 2,68%, meski masih di bawah batas 3%. Pasar kini mencermati rencana belanja pemerintah, khususnya dari sisi transparansi dan apakah belanja diarahkan pada inisiatif produktif. "Dalam jangka pendek, defisit lebih tinggi diperkirakan akan mendorong kenaikan premi tenor hingga rincian belanja diumumkan,"
Secara keseluruhan, Rupiah melemah sejak bulan lalu meski intervensi BI menjaga stabilitasnya. "Kami melihat Rupiah masih berpeluang stabil dalam skenario dasar, namun volatilitas bisa kembali jika DXY menguat akibat kejutan data AS," imbuh Ashmore
Ashmore menilai, investor kini menuntut premi tenor lebih tinggi, sehingga imbal hasil obligasi tenor panjang tetap tinggi dibanding tenor pendek, dengan yield INDON 10Y di 4,99%, INDON 5Y di 4,33%, dan INDON 1Y di 3,88%. Namun, menurut Ashmore, premi tenor ini diperkirakan bisa turun seiring berlanjutnya siklus pelonggaran global dan adanya kejelasan arah kebijakan terbaru.
Yield INDON tenor panjang yang masih tinggi dapat memberi potensi keuntungan bagi investor dalam jangka menengah, "apalagi BI masih diperkirakan melanjutkan pemangkasan suku bunga hingga setidaknya kuartal I-2025,"
Ashmore berpendapat, pelemahan Rupiah saat ini serta koreksi yield obligasi terutama tenor panjang memberikan peluang masuk pada titik investasi yang lebih menarik. "Dalam hal ini, investor bisa memperoleh eksposur melalui ADUN yang berfokus pada obligasi pemerintah Indonesia tenor panjang berdenominasi USD." (Ashmore)


Sumber : Admin