Rupiah vs Dolar AS Hari Ini, Dihantui Ketidakpastian Tarif AS
Thursday, April 17, 2025       09:45 WIB

JAKARTA, investor.id - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada Kamis pagi (17/4/2025). Hal itu karenadihantui ketidak pastian kebijakan tarif yang memicu pelarian investor dari aset-aset AS.
Berdasarkan data Bloomberg pada pukul 09.05 WIB di pasar spot exchange, Rupiah menguat 12,5 poin (0,07%) ke level Rp 16.824,5 per dolar AS. Sedangkan pada perdagangan Rabu (16/4/2025), mata uang rupiah sempat ditutup terkoreksi sebesar 10,5 poin (0,06%) berada di level Rp 16.837 per dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar terpantau naik 0,2 poin menjadi 99,57. Sedangkan imbal hasil obligasi AS 10 tahun terlihat turun 1 poin di level 4,3%.
Dikutip dari Reuters, dolar AS menuju pelemahan mingguan keempat berturut-turut pada Kamis (17/4/2025), didorong oleh kekhawatiran pasar terhadap ketidakpastian kebijakan tarif yang memicu pelarian investor dari aset-aset AS. Meski demikian, dolar sempat bangkit dari posisi terendah tujuh bulan terhadap yen, seiring negosiasi dagang AS-Jepang yang sejauh ini tidak membahas isu nilai tukar.
Tekanan terhadap dolar semakin besar sejak AS mengancam, memberlakukan, dan kemudian menunda tarif besar-besaran. Ketidakpastian ini melemahkan kepercayaan investor terhadap prospek pertumbuhan dan stabilitas ekonomi AS.
Franc Swiss menjadi mata uang G10 dengan penguatan terbesar sejak 2 April, naik sekitar 8% terhadap dolar dan kini menguji level resistensi kuat di 0,81, level tertinggi dalam satu dekade. Sementara itu, euro dan yen juga menguat sekitar 5% dalam dua pekan terakhir.
Di sesi Asia, euro sedikit melemah ke US$ 1,1373, namun tetap berada di jalur kenaikan mingguan keempat, meskipun Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam waktu dekat.
Dolar sempat menyentuh posisi terendah tujuh bulan di 141,62 yen sebelum kembali naik ke atas level 142, setelah Menteri Ekonomi Jepang Ryosei Akazawa menyatakan bahwa isu nilai tukar belum dibahas dalam pertemuan dagang dengan AS di Washington.
Penguatan Yen
Kenaikan yen sebelumnya terjadi karena pasar berharap Jepang dan AS akan menyepakati penguatan yen terhadap dolar. Namun, jika kesepakatan tidak tercapai, posisi beli jangka panjang terhadap yen, yang saat ini tercatat tertinggi sejak 1986, berpotensi dibongkar kembali oleh pelaku pasar.
Indeks dolar saat ini berada di level 99,5 dan juga diproyeksikan mengalami penurunan mingguan keempat. Aktivitas perdagangan pun cenderung sepi menjelang libur Paskah.
Meskipun data ritel AS mencatatkan kenaikan tertinggi dalam lebih dari dua tahun, dan Ketua The Fed Jerome Powell tidak menunjukkan urgensi untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat, tekanan jual terhadap dolar terus berlanjut.
Analis Citi dalam catatan riset yang dipimpin oleh Kepala Strategi G10 Rates Daniel Tobon menyebutkan, pihaknya tidak melihat ini sebagai proses dedolarisasi yang sesungguhnya dan tidak melihat ancaman serius terhadap status dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
"Namun, saat ini dunia sudah kelebihan eksposur terhadap aset AS. Arus 'jual Amerika' ini bisa memberikan tekanan berat terhadap dolar sepanjang tahun ini," tulis analis Citi dan memperkirakan euro bisa menyentuh level US$ 1,20 dalam 6-12 bulan ke depan sebelum dolar mulai pulih kembali.
Sementara itu, pelemahan dolar mendorong dolar Selandia Baru (NZD) keluar dari kisaran sebelumnya. NZD kini diperdagangkan di atas rata-rata pergerakan 50 dan 200 harinya di US$ 0,5932, meskipun tidak melanjutkan penguatan lebih lanjut karena inflasi yang tinggi dinilai bersifat sementara.
Dolar Australia (AUD) berada di kisaran US$ 0,6367 menjelang rilis data ketenagakerjaan, sedangkan poundsterling tertahan di US$ 1,3216 setelah rilis data inflasi Inggris yang lebih lemah dari perkiraan.

Sumber : investor.id