Atasi Kejatuhan Harga Nikel, China dan Indonesia Perlu Lebih Banyak Mengurangi Produksi
Monday, February 12, 2024       15:51 WIB

Ipotnews - China dan Indonesia harus mengurangi produksi nikel setidaknya 100.000 metrik ton tahun ini, untuk membatasi kerugian karena kejatuhan harga logam yang menjadi bahan baku pembuatan baja tahan karat dan mobil listrik itu.
Para pedagangan dan analis mengatakan, pemotongan produksi lebih lanjut akan diperlukan jika produsen ingin meningkatkan harga dan menghilangkan surplus dari pasar, ketimbang sekedar menghentikan kerugian.
Harga nikel telah melonjak pada tahun 2022, mencapai rekor di atas USD100.000, setelah ekspektasi berkurangnya pasokan dari produsen utama Rusia. Serangan Rusia ke Ukraina mendorong pasar untuk memangkas ekspektasi akan harga nikelyang lebih rendah.
Saat ini, nikel diperdagangkan sekitar USD16.000 per ton setelah produksi meningkat di Indonesia. Tahun lalu Indonesia menyumbang lebih dari separuh pasokan global, diperkirakan sekitar 3,4 juta metrik ton. Pasokan Indonesia mencapai 30% dari total pada tahun 2020.
Tambahan pasokan nikel ke pasar global, memperparah dampak pelemahan ekonomi yang telah menurunkan permintaan. Para penambang Barat, termasuk dan setengah lusin perusahaan lain - kendati telah menjadikan nikel sebagai inti dari strategi ramah lingkungannya - melakukan pemangkasan aset, penundaan proyek, atau pengurangan produksi.
Menurut analis Macquarie, pemangkasan produksi nikel sejauh ini telah mengurangi lebih dari 230.000 ton atau sekitar 6% dari potensi suplai untuk tahun ini. Namun ini pun masih belum cukup untuk mendongkrak harga.
Mengutip sumber di sebuah produsen global, laman Reuters, Senin (12/2), menyebutkan bahwa pengurangan yang lebih dalam akan diperlukan untuk mencegah kerugian finansial.
Perusahaan konsultan Benchmark Mineral Intelligence memperkirakan pengurangan lebih dari 250.000 ton diperlukan untuk menyeimbangkan pasar nikel global tahun ini.
Para analis mengatakan, sebagian besar kelebihan pasokan dan persediaan tertinggi adalah  nickel pig iron  (NPI), produk alternatif yang lebih murah dibanding nikel bermutu tinggi untuk produksi baja tahan karats. China dan Indonesia menyumbang 70% dari pasokan nikel global, sebagian besar berupa NPI.
"Jika kita mengeluarkan gangguan sebesar 3% atau 100.000 ton (dari pasar), sekitar 100.000 ton lagi perlu dipotong untuk menyeimbangkan pasar," kata Jim Lennon, ahli strategi di Macquarie.
"Dengan harga NPI di sekitar USD11.000 (per ton), seharusnya ada penyesuaian pasokan di China dan Indonesia," imbuh Lennon, seperti dikutip Reuters.
Lennon memperkirakan bahwa biaya produksi NPI adalah USD10.000-USD11.000 per ton di Indonesia dan USD12.000 di China, yang berarti sangat sulit untuk menghasilkan keuntungan.
Menurut analis Bank of America, dengan biaya bahan baku, termasuk bijih nikel, listrik dan batubara, yang mencapai 73% dari harga, banyak pabrik NPI di China menjadi tidak menguntungkan,.
CEO Anglo American (AAL.L), Duncan Wanblad mempertanyakan apakah nikel yang cocok untuk penggunaan baterai dapat memiliki harga yang lebih tinggi.
"Saya bertanya-tanya apakah ada potensi percabangan dalam kurva biaya nikel atau nikel yang digunakan untuk baja tahan karat mungkin sangat berbeda dengan nikel yang digunakan untuk aplikasi baterai," kata Wanblad kepada Reuters di sela-sela African Mining Indaba pekan lalu.
"Oleh karena itu, jika itu benar, maka harus ada dua harga nikel yang berbeda untuk kedua hal tersebut," tambahnya.
Anglo menambang nikel di tambang Barro Alto di Brasil dan sebagai produk sampingan dari bisnis platinum group metals (PGM) di Afrika Selatan.
Para pedagangan mengtakan, jika harga tidak naik, para penambang Barat harus mengelola aset-aset di Kaledonia Baru, Australia, dan Kanada yang berproduksi dalam keadaan merugi, dan mungkin akan memangkas lebih banyak produksi. (Reuters)

Sumber : admin