Ipotnews - Pendapatan negara tumbuh sedikit lebih lambat sebesar +44.5% yoy (dari +45.8% yoy di Sep22) karena pajak penghasilan yang lebih lambat sebesar +60.3% yoy (dari +64.3% yoy di Sep22).
Pengeluaran negara tumbuh lebih tinggi sebesar +14,2% yoy pada Okt22 (dari +5,9% yoy pada Sep22) karena pengeluaran kompensasi dan subsidi yang lebih tinggi sebesar +64% dan +28% yoy.
"Defisit fiskal sebesar 1,0% dari PDB pada Okt22 (dari +0,3% dari PDB pada Sep22), adalah defisit pertama tahun ini. Kami mempertahankan perkiraan pertumbuhan ekonomi kami di 5.1% yoy pada 4Q22," tulis ekonom Tim Riset Indo Premier, Lutfhi Ridho dan Sevi Vinastya, dalam kesimpulan hasil kajiannya, Kamis (24/11).
Lutfhi dan Sevi melihat, penerimaan negara tumbuh sedikit lebih lambat di +44.5% yoy (dari +45.8% yoy di Sep22) karena pertumbuhan pajak penghasilan yang lebih rendah di +60.3% yoy (dari +64.3% yoy di Sep22), dan pajak perdagangan internasional di +37% yoy (dari +46 % yoy pada Sep22).
"Namun, penurunan ini dimitigasi oleh pertumbuhan cukai dan pajak lainnya yang lebih tinggi di +16,8% yoy (dari +14,7% yoy di Sep22), sejalan dengan pertumbuhan produksi rokok yang lebih tinggi di +14,7% yoy (+2,8% yoy di Sep22)," imbuh Tim Riset.
Sedangkan dari sisi sektoral, Tim Riset melihat bahwa sektor pertambangan dan perdagangan masih menjadi kontributor tertinggi di Okt22 sebesar +91% yoy dan +77% yoy (dari +52% yoy dan +36% yoy di Sep22). Selain itu, pajak penghasilan dari pajak impor dan institusi memberikan kontribusi terbesar sebesar +108% dan +110% YTD karena kinerja perusahaan yang lebih baik dan aktivitas impor yang lebih kuat.
"Kami berpandangan bahwa normalisasi harga 5 komoditas ekspor utama Indonesia yaitu batubara +66% yoy, karet -20% yoy, dan CPO -28% yoy (dari +139% yoy, -18% yoy, dan - 22% yoy di Sep22) dapat berdampak pada perlambatan pertumbuhan pajak penghasilan lebih lanjut hingga 1H23," ungkap Tim Riset.
Pengeluaran negara tumbuh lebih kuat sebesar +14.2% yoy (dari +5.9% yoy pada Sep22) karena biaya lain yang lebih tinggi di +64% yoy (+30% yoy di Sep22). Hal ini berasal dari belanja kompensasi bahan bakar yang tumbuh jauh lebih tinggi sebesar +945% yoy (+354% yoy pada Sep22) karena subsidi bahan bakar dan pembayaran kompensasi untuk 1H22 jatuh tempo pada Okt22.
"Perlu diperhatikan bahwa dana kompensasi BBM dan listrik yang dibayarkan ke Pertamina dan PLN sudah mencapai 91%, atau sebesar Rp268 triliun, dari total yang dianggarkan Rp293 triliun. Selain itu, belanja subsidi juga tumbuh lebih tinggi sebesar +28% yoy (+27% yoy di Sep22) yang berasal dari pertumbuhan subsidi non-energi yang lebih tinggi sebesar +2,9% yoy (-0,8% yoy di Sep22).
Sementara itu, belanja barang dan modal terus berkontraksi di -18% dan -9,5% yoy (masing-masing -17,6 dan -10% yoy di Sep22) karena penurunan belanja terkait pandemi. Konsekuensinya, posisi kas pemerintah di bank sentral turun menjadi Rp537 triliun di Okt22 (dari posisi tertinggi sepanjang masa di Rp756 triliun di Sep22). "Namun, kami melihat likuiditas pemerintah masih cukup untuk membiayai subsidi dan kompensasi BBM hingga akhir tahun tanpa menambah pembiayaan tambahan," ungkap Tim Riset.
Tim Riset juga melihat, anggaraan negara mencatatkan defisit untuk pertama kalinya di FY22 sebesar -1% dari PDB pada Okt22 (dari +0,3% dari PDB di Sep22). Sementara itu, pembiayaan APBN terus mengalami kontraksi sebesar 21,7% yoy (dari -26% yoy pada Sep22) karena defisit fiskal pada Okt22 masih di bawah target Kemenkeu sebesar 4,5% dari PDB untuk FY22. Selain itu, pelaksanaan joint financing antara Kemenkeu dan bank sentral ( burden sharing ) yang disebut juga dengan SKB III telah mencapai 42% dari total atau Rp95 triliun dari total Rp224 triliun (Rp129 triliun lebih akan diterbitkan pada 22 Desember).
"Singkatnya, kami berpandangan bahwa defisit fiskal dapat berlanjut hingga akhir tahun dan akan cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di FY22." (Riset Indo Premier)

Sumber : admin