Gelombang Inflasi Akan Berdampak pada Sebagian Besar Obligasi Emerging Market Asia
Friday, May 14, 2021       14:07 WIB

Ipotnews - Studi Bloomberg menunjukkan, meningkatnya ekspektasi gelombang inflasi di Amerika Serikat akan berdampak pada pasar obligasi Asia. Obligasi di Korea Selatan dan Thailand berisiko mengalami dampak terbesar di Asia.
Surat utang di dua negara itu menjadi paling sensitif dengan memperhatikan episode masa lalu ketika  break-even rates  atau tingkat impas imbal hasil AS melonjak, berdasarkan lima skenario masa lalu yang dimulai pada tahun 2011.
 Break-even rates  adalah perbedaan imbal hasil antara obligasi yang dilindungi oleh inflasi, dan nominal surat utang dengan jatuh tempo yang sama. Tingkat imbal hasil positif mengindikasikan ekspektasi pasar bahwa perekonomian kemungkinan akan menghadapi inflasi dalam waktu dekat.
Obligasi Korea menunjukkan skor-z - yang mengukur hubungan dengan rata-rata ( mean ) - sebesar 0,81, sedangkan Thailand 0,77. Skor tersebut jauh dibanding China yang hanya 0,09 dan India yang minus 0,01 di India. Obligasi Indonesia mempunyai skor kurang dari 0,5.
Kerentanan obligasi Korea dan Thailand dapat dikaitkan dengan  spread  imbal hasil yang ketat dengan  yield  US Treasury, dan juga kerentanan mereka terhadap inflasi impor karena ketergantungan mereka yang relatif tinggi pada impor energi.
Studi ini mengukur dampak pada obligasi negara berkembang Asia dari pergerakan signifikan dalam tingkat impas imbal hasil AS dan imbal hasil riil selama lima skenario sejak 2011. Sebuah pergerakan guncangan dalam harga aset AS didefinisikan sebagai pergerakan rata-rata 30 basis poin pada tingkat impas selama 10 periode hari, atau lompatan 54 basis poin pada hasil nyata pada skala waktu yang sama.
Ekspektasi inflasi semakin tinggi di seluruh dunia karena rekor stimulus bank sentral telah menciptakan gelembung likuiditas yang mulai mempengaruhi indeks harga konsumen. Tingkat impas imbal hasil US Treasury 10 tahun, yang mengukur ekspektasi inflasi di masa mendatang, naik hingga 2,59% pada pekan ini, dari hanya 0,47% pada Maret tahun lalu.
Peningkatan kekhawatiran inflasi itu meningkat dengan didukung rilis data inflasi AS periode April yang lebih tinggi dari perkiraan.
"Kita bisa mendapatkan tingkat impas imbal hasil dan nominal yang lebih tinggi jika Federal Reserve tidak hanya membiarkan inflasi melampaui batas, tetapi juga memungkinkan ekonomi AS menjadi lebih panas," kata Duncan Tan, ahli strategi suku bunga di DBS Bank Ltd. di Singapura. "Skenario ini masih belum jelas, tetapi akan sedikit merugikan obligasi  emerging market  Asia," imbuhnya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (14/3).
Kisah ini agak berbeda dalam imbal hasil riil. Analisis serupa dari Bloomberg tentang periode kenaikan imbal hasil yang disesuaikan dengan inflasi di AS - didorong oleh optimisme atas pertumbuhan dan ekspektasi normalisasi The Fed - menunjukkan obligasi Indonesia adalah yang paling rentan, dengan skor-z 4,51, diikuti oleh Thailand pada 2,69.
Lonjakan imbal hasil riil AS cenderung mendorong dolar, yang berdampak relatif besar pada rupiah. Mata uang Indonesia rata-rata melemah sekitar 4% selama lima periode yang digunakan dalam penelitian, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata 2% untuk lima negara Asia lainnya.
Oleh karena itu, tampaknya dampak langsung ekspektasi inflasi AS yang lebih tinggi terhadap prospek obligasi  emerging market  Asia akan berbeda tergantung pada apakah ada pergerakan yang lebih besar di AS dalam tingkat impas atau imbal hasil riil. "Apa pun itu, semua tanda menunjukkan bahwa masih akan ada banyak fokus pada data IHK di masa mendatang," tulis Bloomberg. (Bloomberg)


Sumber : Admin