Greenback Meroket ke Posisi Tertinggi Dua Dekade, Sterling Terpukul
Wednesday, September 28, 2022       13:48 WIB

Ipotnews - Pasar keuangan yang gelisah mendorong  safe-haven  dolar ke puncak dua dekade yang baru, Rabu, karena kenaikan suku bunga global memicu kekhawatiran resesi, sementara poundsterling mendekam di dekat posisi terendah sepanjang masa di tengah ketakutan atas rencana pemotongan pajak radikal Inggris.
Indeks Dolar AS (Indeks DXY), ukuran  greenback  terhadap sekeranjang enam mata uang utama, naik sekitar 0,5% mencapai tertinggi baru 114,70 di perdagangan Asia, demikian laporan  Reuters,  di Singapura, Rabu (28/9).
Penguatan dolar terjadi karena imbal hasil US Treasury 10-tahun melambung ke posisi 4% untuk pertama kalinya sejak 2010, menyentuh 4,004%. Imbal hasil dua tahun mencapai 4,2891%.
"Ini adalah kombinasi limpahan dari Inggris...di mana imbal hasil gilt melejit. Dan itu menyebar ke pasar obligasi developed market lainnya, jadi ada sedikit efek pantulan," kata Moh Siong Sim, analis Bank of Singapore.
"Dan tentu saja...ini bertentangan dengan pesan yang sangat ditentukan oleh The Fed untuk melakukan apa pun guna menurunkan inflasi."
Federal Reserve memimpin perjuangan global melawan lonjakan inflasi, berubah menjadi lebih agresif baru-baru ini dengan memberi sinyal kenaikan suku bunga lebih lanjut setelah melakukannya dengan ukuran super dalam beberapa bulan terakhir.
Pesan itu diperkuat Presiden Fed Chicago Charles Evans, Presiden Fed St Louis James Bullard dan Presiden Bank Federal Reserve Minneapolis Neel Kashkari, Selasa, dengan Evans mengatakan bank sentral perlu menaikkan suku bunga ke kisaran antara 4,50% dan 4,75%.
Meningkatnya biaya pinjaman mendorong kekhawatiran resesi global, menambah lonjakan imbal hasil obligasi di seluruh dunia.
Sterling berada di bawah tekanan lagi, merosot 0,95% menjadi USD1,06345, membalikkan kenaikan 0,4% di sesi sebelumnya. Pound masih mengalami kerugian yang dalam pasca jatuh ke level terendah sepanjang masa di USD1,0327, awal pekan ini, setelah bertahan di dekat USD1,1300 sebelum APBN Inggris diumumkan minggu lalu.
Kepala Ekonom Bank of England, Huw Pill, mengatakan bank sentral kemungkinan akan memberikan "respons kebijakan yang signifikan" dalam menanggapi rencana pemotongan pajak besar-besaran Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng.
Namun dia menambahkan bahwa bank sentral ingin menunggu sampai pertemuan yang dijadwalkan berikutnya pada November sebelum menentukan langkahnya.
"Untuk jangka pendek saya pikir sterling akan tetap cukup lemah dari sini," kata Carol Kong, Senior Associate Commonwealth Bank of Australia.
"Ini pada dasarnya adalah krisis kepercayaan. Terserah pemerintah Inggris untuk menyelesaikan ini...daripada Bank of England."
Dolar yang lebih kuat mendorong mata uang lainnya ke posisi terendah multi-tahun pada Rabu, dengan Aussie jatuh 0,8% hingga mencapai level terendah di USD0,6381, terlemah sejak Mei 2020. Kiwi kehilangan sekitar 1% menjadi USD0,55645, juga terendah sejak Maret 2020.
Yuan di pasar  offshore  merosot sejauhnya 7,2350 per dolar, level terendah sejak data tersebut tersedia pada 2011.
Sebuah sumber mengatakan kepada  Reuters , Selasa malam, otoritas moneter China meminta perbankan lokal untuk menghidupkan kembali alat penetapan yuan yang ditinggalkannya dua tahun lalu ketika mereka berupaya mengarahkan dan mempertahankan mata uang yang melemah itu dengan cepat.
Euro kehilangan 0,45% menjadi USD0,9550, tidak jauh dari level terendah 20 tahun terakhir di USD0,9528, dengan gejolak terbaru dalam krisis gas zona euro menambah prospek suram bagi mata uang tunggal itu.
Selasa, Eropa menyelidiki apa yang dikatakan Jerman, Denmark dan Swedia sebagai serangan yang menyebabkan kebocoran besar ke Laut Baltik dari dua pipa gas Rusia.
Di tempat lain, yen terakhir dibeli 144,69 per dolar, masih mendekati level terendah dalam beberapa tahun bahkan setelah intervensi Jepang untuk menopang mata uang tersebut minggu lalu.
"Apa yang benar-benar akan mengubah nilai yen adalah jika BOJ menyerah atau mengatur ulang kebijakan kontrol kurva imbal hasil mereka," kata Pablo Calderini, Chief Investment Officer Graham Capital.
"Selama Anda mempertahankan perbedaan suku bunga 4%, akan sangat sulit untuk melihat apresiasi yen yang signifikan." (ef)

Sumber : Admin