Harga Batubara Termal Melonjak karena Permintaan Listrik Global Meningkat
Friday, July 23, 2021       16:31 WIB

Ipotnews - Gangguan pasokan, kekeringan di China, dan permintaan listrik yang meningkat telah mendongkrak harga batu bara termal. Komoditas yang paling "tidak disukai" di dunia ini menjadi salah satu aset dengan kinerja terbaik tahun ini.
Sejak awal tahun, harga batubara Australia berenergi tinggi - patokan untuk pasar Asia secara luas - telah naik 80 persen menjadi hampir USD146 per ton, level tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Menurut penilaian mingguan terbaru oleh penyedia harga komoditas Argus, harga batubara yang setara dari Afrika Selatan juga diperdagangkan pada level tertinggi dalam lebih dari 10 tahun, naik 44 persen pada 2021.
Kondisi tersebut menempatkan tolok ukur batubara di depan dua kelas aset dengan kinerja terbaik tahun ini: real estat, yang naik 28 persen, dan saham keuangan, naik 25 persen. Hanya minyak mentah Brent yang mencatatkan kenaikan yang sebanding 44 persen.
Kebangkitan batubara termal, yang dibakar di pembangkit listrik, memperlihatkan kesulitan yang dihadapi banyak pemerintahan di dunia untuk mencoba beralih ke bentuk energi yang lebih bersih.
Bahkan ketika energi terbarukan seperti angin dan matahari berkembang pesat, belum cukup untuk mengimbangi peningkatan permintaan listrik, dan hanya menyisakan bahan bakar fosil untuk mengisi kekurangannya.
Para pedagang dan analis mengatakan, ada sejumlah faktor yang mendorong kenaikan harga batubara.
"Kenaikan harga terutama didorong oleh permintaan yang kuat dari China. Pembeli dari China bersedia mengamankan persediaan dengan harga tertinggi," kata Dmitry Popov, analis batubara termal senior di perusahaan konsultan, CRU.
Kekeringan awal tahun ini di Cina Selatan, yang menghancurkan bendungan pembangkit listrik tenaga air dan mendorong permintaan batu bara, telah memainkan peran penting pada lonjakan harga komoditas.
China juga telah berjuang untuk meningkatkan pasokan domestik demi memenuhi peningkatan permintaan, karena aturan keamanan yang ketat yang membatasi volume produksi.
Pada saat yang sama, output dari Indonesia, pemasok batubara terbesar ke China, telah terhambat oleh curah hujan yang terus-menerus. Kendala kereta api dan pelabuhan juga mempengaruhi pengiriman batubara dari Rusia dan Afrika Selatan, dua produsen batubara penting lainnya.
China tidak dapat membeli batu bara Australia karena adanya konflik perdagangan antar dua negara itu. Sementara itu, lonjakan harga gas alam telah mendorong beberapa perusahaan utilitas di Jepang dan Eropa untuk beralih ke batu bara, sehingga semakin memperketat pasar.
"Saya belum pernah melihat China di bawah tekanan seperti ini sebelumnya," kata Tom Price, kepala strategi komoditas di Liberum. "Hidro turun, produksi lokal kesulitan, dan tidak ada opsi impor utama," imbuhnya, seperti dikutip Fnancial Times, Jumat (23/7).
Semua ini terjadi karena permintaan listrik meningkat, terkait pelonggaran penguncian pandemi Covid.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan, setelah turun sekitar 1 persen pada tahun 2020, permintaan listrik global akan tumbuh mendekati 5 persen pada tahun 2021, dan 4 persen pada tahun 2022,
"Meskipun pasokan sumber energi terbarukan diperkirakan akan terus tumbuh pesat, mereka hanya akan mampu melayani sekitar setengah dari peningkatan permintaan bersih pada tahun 2021 dan 2022," kata IEA dalam  Electricity Market Report  terbaru.
IEA mengekspektasikan, listrik berbahan bakar batu bara meningkat hampir 5 persen tahun ini melebihi tingkat pra-pandemi, dan tumbuh 3 persen lebih lanjut pada 2022, dan berpotensi mencapai rekor tertinggi baru.
Tetapi tidak semua orang percaya bahwa harga tinggi akan bertahan. Fitch Solutions memperkirakan harga akan mencapai puncaknya tahun ini, karena Beijing telah melepaskan batubara dari stok strategisnya dan memerintahkan penambang untuk meningkatkan produksi. Selain itu, untilitas pembangkit listrik fosil di China biasanya mencapai level tertinggi pada bulan Juli dan Agustus, sebelum turun tajam setelahnya.
"Oleh karena itu, kami tetap memperkirakan perlambatan permintaan batubara termal domestik pada awal September," kata Popov.
Lebih jauh ke depan, pertanyaan besar untuk batubara termal adalah apakah kebijakan lingkungan akan mengakibatkan pelemahan permintaan yang lebih cepat daripada pasokan, karena bank dan perusahaan asuransi menolak untuk mendanai proyek-proyek baru yang terkait batubara.
"Saya memperkirakan pasokan akan turun lebih cepat daripada permintaan," kata Price di Liberum. Ia berpikir China dan India akan terus membeli batubara di pasar ekspor pada dekade berikutnya. "Ini adalah pasar yang sangat ketat ... tidak akan hancur berkeping-keping." (Financial Times)


Sumber : admin