Indef: Tak Usah Bicara Super Holding Dulu, Bereskan Holding Yang Ada...
Tuesday, April 16, 2019       16:26 WIB

Ipotnews - Institut for Development of Economic and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam memutuskan pembentukan super holding, seperti halnya Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia. Jauh lebih penting, pemerintah harus memastikan bahwa holding-holding BUMN yang sudah terbentuk mampu berperan sesuai dengan yang diharapkan.
Hal itu diungkapkan ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara saat dihubungi, Selasa (16/4), menanggapi pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno yang menyebut nantinya Kementerian BUMN akan hilang dan berganti dengan Super Holding.
Ia pun menyoroti rencana pembentukan holding di sektor transportasi yang menurutnya akan sangat rentan membuat kerugian bersama. Padahal, tujuan awalnya adalah untuk memenuhi aset.
"Lebih baik perbaiki masing-masing perusahaan dulu, kelola aset dulu, jangan terlalu dipaksakan. Jangan sampai ini hanya jadi agenda politis saja, agar akhirnya bisa mencapai super holding yang merupakan janji politis," ujar Bhima.
Selain itu menurutnya, akan lebih baik jika pemerintah saat ini melakukan evaluasi terhadap memegang holding yang sudah ada, contohnya yaitu holding BUMN Migas, dimana Pertamina berperan sebagai holding serta holding pertambangan, dimana PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) berperan sebagai induk usaha.
"Karena, masing-masing memegang saham, belum juga menghasilkan hasil akhirnya. Masalahnya, masalah yang menyebar adalah PGN yang membantah kerugian Pertamina, maka penting untuk dipertimbangkan sebelum terlanjur membentuk holding tanpa kajian matang," tuturnya.
Senada dengan Bhima, pengamat aviasi Gerry Soejatman juga menilai, keputusan untuk membuat holding penerbangan secara tiba-tiba adalah bukan suatu keputusan yang baik. Pasalnya, industri transportasi saat ini sedang dalam keadaan "semrawut'.
"Tengoklah, masyarakat yang masih mempertanyakan soal tarif tiket pesawat untuk terbang di dalam negeri (domestik) yang mahal. Selain itu, buntut kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 Jakarta-Pangkalpinang pun masih menyisakan masalah hak-hak keluarga," kata Gerry.
Menurutnya, tiket pesawat mahal perlu dibenahi lebih dulu ketimbang sibuk mengatur holding penerbangan. Alasannya, naiknya tarif tiket pesawat membawa pengaruh buruk ke sektor lain.
"Terbukti, jumlah penumpang di bandara dan rute-penerbangan domestik sepi, pariwisata menurun," tegas Gerry.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat jumlah penumpang pesawat terbang pada rute-penerbangan domestik menurun 15,46 persen dari 6,67 juta penumpang pada Januari 2019 menjadi 5,63 juta penumpang pada Februari 2019.
"Khawatirnya, jika tidak dibereskan lebih dulu, nanti semua BUMN akan dimintai pertanggungan (tarif tiket yang tinggi), baik Garuda Indonesia maupun Angkasa Pura," pungkasnya. (Sigit)

Sumber : admin