Kenaikan BI7DRR April 2024 Tidak Serta Merta Harus Diikuti Kenaikan Suku Bunga Kredit Perbankan
Monday, April 29, 2024       10:37 WIB

Ipotnews - Kenaikan suku bunga acuan BI7DRRpada bulan April 2024 tidak serta merta harus diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit perbankan dan pinjaman lembaga pembiayaan.
Penyebabnya adalah kebijakan itu membuat risiko kredit industri perbankan meningkat dengan berbagai implikasinya.
"Perbankan dan lembaga pembiayaan tentu harus melakukan kalkulasi ulang terhadap kegiatan operasionalnya pasca kenaikan BI Rate ini dengan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kreditur dan debitur supaya tidak mengganggu aktivitas ekonomi oleh kalangan pelaku usaha," kata Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia ( LPPI ), Ryan Kiryanto saat dihubungi Ipotnews, Senin (29/4).
Ryan menyarankan akan lebih baik juga jika perbankan melakukan stress test untuk menguji ketahanan atau resiliensi bank-bank secara individu. Baik itu terkait dengan meningkatnya risiko geopolitik global maupun oleh kebijakan moneter terkini tersebut.
"Dengan cara demikian, recovery plan dapat segera ditindaklanjuti sebagai upaya menjaga kesinambungan pertumbuhan dan perkembangan bank sebagai lembaga intermediasi," ujar Ryan.
Ryan mengakui kebanyakan ekonom, analis, pelaku pasar keuangan dan pebisnis berharap Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 23-24 April 2024 akan menahan suku bunga acuan atau BI Rate tetap di level 6%. Faktanya, RDG BI memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, diikuti kenaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.
"Memang jika menilik tekanan eksternal yang begitu kuat terhadap perkembangan nilai tukar rupiah, setidaknya dalam satu bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS dan bahkan telah menembus batas psikologis Rp16.000 per dolar AS," jelas Ryan.
Dari kondisi ini, dapat disimpulkan bahwa keputusan RDG BI untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25% setelah melalui asesmen yang komprehensif dan teruji, menjadi keputusan yang tepat, preemptive, antisipatif dan forward looking. Titik tekan yang menjadi dasar pertimbangan adalah bahwa kenaikan BI Rate ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta untuk memastikan inflasi tetap dalam target 2,51% pada 2024 dan 2025.
"Jadi, upaya untuk menahan daya tahan nilai tular rupiah menjadi basis prioritas pertimbangan RDG BI yang terakhir, " tambah Ryan.
Dengan kata lain, stance kebijakan moneter BI yang pro-stability menjadi prioritas utama di tengah meningkatnya risiko geopolitik global saat ini (stability over growth approach). Namun demikian, RDG BI juga tetap memberikan ruang untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi (stance of pro growth) dengan penekanan pada kebijakan makroprudensial didukung kebijakan sistem pembayaran yang efisien dan efektif.
Kebijakan yang tetap pro-economic growth secara berkelanjutan melalui kanal kebijakan makroprudensial dimaksudkan untuk mendorong ekspansi penyaluran kredit dan/atau pembiayaan kepada sektor riil. Kebijakan ini didorong dengan memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong ekspansi penyaluran kredit dan/atau pembiayaan melalui perluasan cakupan sektor prioritas, yakni sektor penunjang hilirisasi, konstruksi dan real estate produktif, ekonomi kreatif, otomotif, perdagangan, Listrik-Gas-Air Bersih (LGA), dan jasa sosial; serta penyesuaian besaran insentif untuk setiap sektor yang berlaku mulai 1 Juni 2024 nanti.
Tak hanya itu saja, kanal kebijakan makroprudensial yang pro pertumbuhan tersebut juga ditopang dengan upaya mempertahankan Rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0%; Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94%; Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 5% dengan fleksibilitas repo sebesar 5% dan rasio PLM Syariah sebesar 3,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 3,5%.
"Upaya menstabilkan nilai tukar rupiah tidak bisa dilakukan oleh BI sendiri. Oleh sebab itu BI harus terus memperkuat koordinasi kebijakannya dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak rambatan (contagion effects) meningkatnya risiko eksternal. Upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah harus diperkuat melalui kebijakan pemerintah baik dalam aspek perdagangan, perindustrian, pertanian dalam arti luas serta pertambangan sumber daya alam dan mineral.
"Dengan demikian bauran kebijakan moneter dan fiskal serta kebijakan oleh kementerian/ lembaga lainnya diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan bagi rupiah di tengah menguatnya dolar AS," pungkas Ryan.(Adhitya)

Sumber : admin