Kesalahan Perencanaan Investasi: Menggunakan Imbal Hasil Masa Lalu Sebagai Tolok Ukur Imbal Hasil yang Akan Diperoleh (Future Expectation)
Thursday, December 29, 2022       18:44 WIB

Perencanaan investasi sering dilakukan dengan membeli unit penyertaan reksadana, baik reksadana konvensional (reksadana ekuitas, reksadana pendapatan tetap, reksadana campuran, reksadana pasar uang), maupun reksadana Bursa (ETF).
Tentu saja, menggunakan unit penyertaan reksadana dalam perencanaan investasi tidak salah, namun kami berpendapat bahwa pemilihan aset untuk perencanaan investasi juga tidak harus selalu menggunakan aset tak berwujud ( paper asset  atau  intangible asset ), tetapi dapat juga menggunakan asset berwujud seperti property ( real estate ) atau pun bisnis (perusahaan).
Masalah yang sering timbul dalam mempergunakan unit penyertaan reksadana dalam perencanaan investasi, di samping kecenderungan pemodal perorangan untuk sering gonta-ganti alokasi aset atau pun gonta-ganti manajer investasi untuk mengejar manajer investasi yang kinerjanya paling tinggi, adalah kecenderungan pemodal perorangan untuk mempergunakan imbal hasil masa lalu ( historical data ) sebagai tolok ukur imbal hasil yang akan diperoleh di masa depan ( future expectation ).
Tentu saja hal ini tidak benar. Ada dua alasan utama untuk menolak bahwa kinerja masa lalu dapat dijadikan pegangan bahwa kinerja masa depan juga akan sama baiknya.
Pertama, kinerja suatu reksadana bergantung lebih banyak pada kinerja pasar di mana reksadana itu beroperasi, baru kemudian, pada tingkat yang lebih rendah, bergantung pada kinerja manajer investasinya.
Misalnya, akan sangat sulit untuk menemukan manajer investasi yang kinerjanya naik sejalan dengan kinerja pasar pada waktu pasar bergerak positif, tetapi kinerjanya tetap positif pada waktu kinerja pasar jatuh atau bergerak negatif. Hal yang lebih mungkin terjadi adalah kinerja manajer investasi akan naik sejalan dengan kinerja pasar yang positif, tetapi kinerja manajer investasi juga akan memburuk jika kinerja pasar negatif.
Kedua, menggunakan angka imbal hasil ( return ) rata-rata dari data masa lalu ( historical ) seringkali berakibat interpretasi kita menjadi bias (melenceng). Misalnya dalam mempergunakan data imbal hasil ( return ) rata-rata jangka panjang dalam perencanaan pensiun (yang juga berjangka waktu sangat panjang sampai 35 tahun atau lebih).
Perlu diingat bahwa seorang pemodal yang merencanakan pensiunnya, memiliki investasi yang jumlahnya semakin hari semakin besar akibat dari akumulasi dana pensiun yang disetor tiap tahun. Jumlah dana pensiun terbesar biasanya ada pada akhir masa kerja.
Adalah tidak logis untuk mengasumsikan besarnya dana pensiun adalah sama besar sepanjang tahun dari usia 25 tahun hingga pensiun pada usia 60 tahun. Demikian pula, tidak ada orang yang mulai berinvestasi dana pensiunnya pada usia 30 tahun dengan jumlah investasi sebesar jumlah 'lump sum' dari seluruh uang yang dimilikinya.
Berikutnya, dalam menggunakan data imbal hasil ( return ) rata-rata dalam menghitung kinerja investasi jangka pendek, juga dapat terjadi bias karena masalah volatilitas investasi. Misalnya, tinjau kinerja investasi dalam dua periode, dengan kinerja positif sebesar +50% pada periode pertama, lalu diikuti dengan penurunan kinerja sebesar -50% pada periode ke dua.
Secara rata-rata, umumnya disebutkan bahwa kinerja portofolio adalah netral untuk kedua periode investasi tersebut, karena keuntungan sebesar 50% akan diikuti dengan kerugian yang sama sebesar 50%. Tetapi sesungguhnya, nilai akhir portofolio hanya 75% dari nilai awalnya. Dalam hal ini, kita tidak boleh menggunakan rata-rata aritmetika, tetapi harus menggunakan rata-rata geometrik.
Karena itu, kalau kita membeli unit penyertaan reksadana, berdasarkan peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang berlaku, maka manajer investasi harus selalu mencantumkan bahwa kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa depan. Lalu, apa yang bisa dipakai calon pembeli reksadana untuk mengetahui kinerja manajer investasinya di masa yang akan datang? Tidak ada! Kinerja masa depan belum terjadi, dan kita tidak tahu seperti apa kinerja Manajer Investasi di masa depan.
Kalau Manajer Investasi mencantumkan kinerja masa lalunya di dalam prospektus atau dokumen keterbukaan yang disampaikan kepada calon pembeli, maka maksudnya hanyalah menunjukkan kinerja ( performance ) Manajer Investasi pada masa lalu tersebut, bukan kinerja Manajer Investasi yang akan terjadi di masa yang akan datang. Calon pembeli unit penyertaan reksadana harus bijaksana dalam memilih investasi yang akan dibeli.
 Oleh: Fredy Sumendap, CFA 

Sumber : IPS