Ipotnews - Harga komoditas melonjak ke level tertinggi dalam hampir satu dekade. Rebound di negara-negara perekonomian terbesar dunia memicu permintaan logam, makanan dan energi, sementara cuaca buruk di sejumlah negara merusak tanaman, dan hambatan transportasi menghambat pasokan.
Indeks Spot Komoditas Bloomberg, yang melacak harga 23 bahan mentah, naik 0,8% ke level tertinggi sejak 2011 pada Selasa kemarin. Indeks tersebut telah naik lebih dari 70% sejak mencapai level terendah empat tahun pada awal pandemi Covid-19, Maret tahun lalu.
Bangkitnya ekonomi sejumlah negara besar dari pandemi, permintaan logam meningkat seiring melonjaknya aktivitas manufaktur, dan kembalinya pengendara kendaraan bermotor ke jalan meningkatkan harga energi. Sementara itu, harga hasil pertanian seperti jagung, gandum, dan gula melonjak karena kekeringan merusak tanaman di Brasil, AS, dan Eropa, sementara China mulai mengkonsumsi stok pangannya. Hedge fund telah menaikkan taruhan bullish mereka pada komoditas, menandakan pembaharuan ekspektasi inflasi.
"Jelas ada optimisme untuk prospek ekonomi yang membaik, yang mengarah pada percepatan permintaan," kata Greg Sharenow, manajer portofolio di Pacific Investment Management Co. Seperti dikutip Bloomberg, Rabu (5/5). Kurva kontrak berjangka untuk beberapa komoditas menunjukkan terbatasnya pasokan, ia menambahkan.
AS dan China pulih dengan cepat dari pandemi, memicu permintaan untuk lebih banyak mobil, produk elektronik, dan infrastruktur. Ford Motor Co. mengekspektasikan dampak kenaikan biaya USD2,5 miliar dari biaya komoditas dalam tiga kuartal terakhir tahun ini, aakibat kenaikan harga baja, aluminium, dan logam mulia.
Paket infrastruktur senilai USD2,25 triliun dari Presiden AS Joe Biden dan taruhan bahwa janji upaya perbaikan iklim yang lebih agresif akan mempercepat pemanfaatan dan permintaan panel surya, turbin angin, dan kendaraan listrik, juga meningkatkan kekhawatiran tentang kekurangan logam.
Laporan Goldman Sachs Group Inc. 28 April lalu menyebutkan, harga komoditas bisa melonjak 13,5% lagi dalam enam bulan; harga minyak mencapai USD80 per barel dan tembaga mencapai USD11.000 per ton. Minyak mentah diperkirakan akan mengalami peningkatan permintaan terbesar selama enam bulan ke depan, karena peluncuran vaksinasi meningkatkan mobilitas.
Akan tetapi, meskipun komoditas sedang panas belum tentu merupakan awal dari super siklus - periode dimana harga meningkat berkelanjutan, jauh di atas tren jangka panjangnya.
Menurut Stephen Hare dari Oxford Economic dalam laporan April lalu, besarnya pertumbuhan permintaan selama beberapa tahun ke depan seharusnya tidak sama dengan ketika pesatnya industrialisasi China mendorong siklus super pada dekade pertama abad ini. Kapasitas cadangan yang cukup banyak, seharusnya akan membatasi harga energi.
Analis JPMorgan Chase & Co. berpendapat, aktivitas global akan mulai beralih ke sektor jasa dari sektor barang karena pekerja kembali ke kantor, mengurangi permintaan logam untuk membuat produk elektronik rumah tangga dan peralatan dapur.
Menurut Capital Economics, harga bijih besi, yang baru-baru ini mencapai rekor, bisa turun kembali sekitar 20% dari level saat ini, pada akhir tahun nanti. Harga tembaga, yang bulan lalu mencapai USD10.000 per metrik ton, akan turun menjadi sekitar USD8.250 pada kuartal keempat,.
Perubahan harga komoditas berdampak signifikan pada biaya hidup karena dapat mencakup harga bahan bakar, listrik, makanan, dan proyek konstruksi. Geliat pasar komoditas juga membantu membentuk ketentuan perdagangan, nilai tukar, dan pada akhirnya politik negara-negara yang bergantung pada komoditas seperti Rusia, Brasil, dan Chili.
"Lonjakan harga komoditas selama setahun terakhir, menjamin inflasi harga barang yang lebih tinggi musim panas ini," kata IHS Markit Ltd. dalam laporannya pada 29 April. "Selama beberapa bulan ke depan, bahkan inflasi harga konsumen top-line di negara-negara seperti Amerika Serikat akan naik ke tingkat yang tidak terlihat dalam hampir sepuluh tahun." (Bloomberg)

Sumber : Admin