Omnibus Law Sektor Pertambangan Harus Jelas Atur Peran Pusat dan Daerah
Wednesday, February 19, 2020       14:27 WIB

Ipotnews - Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI ) mendukung kebijakan pemerintah menyusun RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang juga mengatur sektor pertambangan. Hanya saja komunikasi dan pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus jelas dari awal.
Direktur Eksekutif APBI , Hendra Sinadia, mendukung rencana pemerintah menyusun RUU Omnibus Law, termasuk untuk mengatur sektor pertambangan. "Karena ini bertujuan mendorong masuknya investasi dengan lebih gencar, termasuk untuk sektor pertambangan," kata Hendra saat dihubungi Ipotnews, Rabu (19/2).
Mengenai wacana pengalihan kewenangan pemerintah daerah (Pemda) ke pemerintah pusat dalam perizinan dan pengelolaan tambang menjadi sorotan, APBI tidak mempermasalahkan. Wacana itu tertuang dalam revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba) melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam perizinan dan pengelolaan tambang minerba yang akan dihapus dan beralih ke pemerintah pusat. Jejak itu antara lain dapat dilihat dari rencana penghapusan Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 37 UU Minerba. Pasal 7 UU Minerba menerangkan tentang kewenangan pemerintah provinsi (pemprov) dalam pengelolaan pertambangan minerba.
"Kami tidak dalam posisi setuju atau menolak soal peralihan kewenangan itu. Mengenai mana yang lebih efisien, apakah dialihkan ke pusat atau daerah, tentu harus kita lihat terlebih dahulu ekfektivitasnya di lapangan begitu Omnibus Law ini berlaku," jelas Hendra.
Hanya saja Hendra mengingatkan peran pemda tidak bisa dikesampingkan secara keseluruhan. Bagaimanapun lokasi pertambangan itu memang letaknya ada di daerah.
Oleh sebab itulah penting bagi pemerintah pusat mengkomunikasikan soal peralihan kewenangan ini kepada kalangan pemerintah. Supaya begitu diterapkan Omnibus Law, implementasi di lapangan lancar tanpa hambatan. "Sehingga tidak merugikan kami kalangan industri," tutur Hendra.
Perubahan lain di sektor pertambangan melalui Omnibus Law adalah tak ada lagi batas luas wilayah produksi mineral dan batubara. Perubahan aturan ini tertuang dalam Pasal 83 huruf c RUU Cipta Kerja. Kelak luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk kegiatan produksi minerba diberikan dari hasil evalusi pemerintah.
Aturan baru ini merevisi Pasal 83 UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Aturan lama membatasi luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan produksi pertambangan mineral logam dibatasi 25 ribu hektare. Sementara untuk pertambangan batu baea dibatasi 15 ribu hektare.
Apabila beleid baru ini disetujui, Hendra membenarkan aturan ini akan memberikan dampak positif bagi pemegang Perjanjian Batu Bara (PKP2B) generasi pertama. Mereka tidak perlu merevisi batasan luas dalam kegiatan operasi produksi pertambangan yang sudah berjalan.
"Mereka umumnya adalah investor lama yang sudah masuk lebih dari 30 tahun. Mereka sudah memiliki perjanjian lama yang lebih dulu berlaku dibanding UU Minerba yang sekarang. Adanya Omnibus Law ini menghargai perjanjian lama PKP2B generasi pertama," tutup Hendra.
Saat ini ada tujuh perusahaan pemegang PKP2B Generasi I yang akan habis kontrak. Mereka adalah PT Arutmin Indonesia pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal pada 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal pada 31 Desember 2021, dan PT Multi Harapan Utama pada 1 April 2022. Selain itu ada PT Adaro Indonesia pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 13 Maret 2023, serta PT Berau Coal pada 26 April 2025.
(Adhitya)

Sumber : admin