Pasar Obligasi Kirim Peringatan Resesi, Dow Catat Hari Terburuk 2019
Thursday, August 15, 2019       05:02 WIB

Ipotnews - Saham Wall Street anjlok, Rabu, dalam kinerja terburuk Dow Jones Industrial Average tahun ini setelah pasar obligasi memancarkan sinyal mengkhawatirkan tentang ekonomi Amerika Serikat.
Dow merosot 800,49 poin atau 3,05% menjadi 2.5479,42, persentase penurunan terburuk tahun ini dan penurunan poin terbesar keempat sepanjang masa, demikian laporan   CNBC   dan  AFP , di New York, Rabu (14/8) atau Kamis (15/8) pagi WIB. Dow menyerahkan seluruh  rebound  dari aksi jual awal Agustus dan jatuh ke level terendah dua bulan.
Sementara itu, indeks berbasis luas S&P 500 menyusut 85,72 poin atau 2,93% menjadi 2.840,6, sedangkan Nasdaq Composite Index turun 3,02% atau 242,42 poin menjadi 7.773,94.
Imbal hasil US Treasury bertenor 10-tahun, Rabu, menembus di bawah tingkat 2-tahun, sebuah fenomena pasar obligasi yang menjadi indikator potensi terjadinya resesi ekonomi. Investor, khawatir tentang keadaan ekonomi, bergegas ke aset  safe  -  haven  jangka panjang, mendorong imbal hasil US Treasury 30-tahun ke rekor terendah yang baru, Rabu.
Saham perbankan memimpin kejatuhan karena semakin sulit bagi sektor itu untuk menghasilkan keuntungan dalam menyalurkan kredit pada lingkungan seperti itu. Bank of America dan Citigroup turun masing-masing 4,6% dan 5,3%, sementara J.P. Morgan merosot 4,2%. Sektor keuangan jatuh ke wilayah koreksi, anjlok lebih dari 10% dari level tertinggi baru-baru ini.
"Pasar ekuitas AS berada dalam kondisi yang penuh ketidakpastian setelah kurva hasil berbalik," kata analis Bank of America, Stephen Suttmeier, dalam sebuah catatan.
Ada lima inversi dari imbal hasil US Treasury bertenor 2-tahun dan 10-tahun sejak 1978, dan semuanya adalah prekursor untuk resesi, menurut data Credit Suisse. Resesi terjadi, rata-rata, 22 bulan setelah inversi, Credit Suisse menunjukkan.
Sinyal itu membuat investor ketakutan. Terakhir kali bagian utama dari kurva imbal hasil ini mengalami inversi adalah selama periode yang dimulai pada Desember 2005, dua tahun sebelum resesi yang diakibatkan krisis keuangan.
"Secara historis, inversi dari ukuran kurva imbal hasil berarti kita sekarang harus memperkirakan terjadi resesi di mana saja dari enam hingga 18 bulan dari hari ini yang akan secara drastis, dan negatif, menggeser  outlook  jangka menengah hingga panjang di pasar yang lebih luas," kata Tom Essaye, pendiri The Sevens Report.
Tetapi Presiden Donald Trump sekali lagi menyalahkan Federal Reserve atas gejolak ekonomi dan inversi kurva imbal hasil tersebut, mengatakan bahwa bank sentral adalah ancaman yang lebih besar daripada China.
Gonjang-ganjing kali ini mengikuti arus terbaru data ekonomi yang buruk dari luar negeri, termasuk data  output  pabrik China yang mencatat tingkat terlemah dalam 17 tahun dan data Jerman menunjukkan ekonomi berkontraksi pada kuartal kedua.
Perang perdagangan AS yang semakin intensif dengan China menjadi faktor utama dalam kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi global, tetapi tak lama setelah Dow mencapai puncaknya, Trump memperbarui serangannya terhadap The Fed dan ketuanya, Jay Powell, yang ditunjuk oleh Trump.
"China bukan masalah kita...Masalah kita adalah dengan The Fed," cuit Trump, menyalahkan "Jay Powell dan Federal Reserve yang tidak mengerti."
Laporan ekonomi yang suram itu memicu ekspektasi bahwa bank sentral utama akan mengumumkan langkah-langkah stimulus yang baru.
The Fed memotong suku bunga acuan bulan lalu untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade dan diperkirakan melakukan pemotongan tambahan dalam beberapa bulan mendatang.
Trump mengatakan dia ingin The Fed memotong suku bunga pinjaman dengan poin penuh. (ef)

Sumber : Admin