Pengetatan The Fed Bukan Lagi Bencana untuk Emerging Market ... Waspadai BEAST
Monday, January 24, 2022       15:25 WIB

Ipotnews -Prospek suku bunga AS yang lebih tinggi, yang dijanjikan Fed akan diterapkan tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, biasanya menjadi pemicu masalah di negara berkembang, terutama karena menyebabkan penguatan dolar. Apa yang disebut  taper tantrum  pada 2013 silam dan kehancuran Meksiko tahun 1990-an menjadi catatan khusus dibukau-buka sejarah ekonomi.
Kabar baiknya untuk tahun 2022 adalah ada alasan untuk berpikir bahwa dampak pengetatan kebijakan The Fed kali ini kemungkinan tidak akan terlalu parah.
 Emerging market  (EM) terlihat lebih baik untuk menghadapi badai apa pun. Banyak negara yang telah membangun cadangan devisa selama dekade terakhir. Mereka yang memproduksi komoditas dapat menjual outputnya dengan harga yang melonjak.
Bahkan penyebab mendasar dari kenaikan suku bunga di negara maju - ekonomi yang berkembang pesat yang memicu inflasi - sangat membantu negara berkembang karena menciptakan pasar yang kuat untuk ekspor.
Skenario sebaliknya, menurut Maurice Obstfeld, mantan kepala ekonom di IMF, pemulihan pasca-Covid yang lemah di negara-negara kaya, akan berdampak lebih buruk. "Ini akan mendinginkan EM jika pengetatan moneter oleh bank sentral negara maju diabaikan dalam menghadapi resesi di perekonomian negara maju," ujarnya, seperti dikutip Bloomberg, Senin (24/1).
Tapi bukan berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Beratnya hantaman pandemi di negara-negara kaya, menyebabkan kesulitan yang lebih besar di negara-negara miskin yang tertinggal dalam tingkat vaksinasi dan langka sumber daya yang dibutuhkan untuk membawa perekonomian mereka melalui Covid. Banyak negara miskin yang telah tertimbun utang.
Kebijakan The Fed dan bank sentral negara maju lainnya yang lebih ketat dapat memperburuk situasi yang sudah buruk. Jika EM juga menaikkan suku bunga maka akanmengerem pemulihan mereka sendiri. Tapi ada risiko pelarian modal yang melemahkan mata uang dan membuat pembayaran utang lebih sulit, jika mereka menahan suku bunga.
Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia telah memperingatkan skenario itu. Begitu juga Presiden China Xi Jinping, dalam pidato 17 Januari yang luar biasa blak-blakan di Forum Ekonomi Dunia.
"Jika negara maju mengerem atau berbalik arah dalam kebijakan moneter mereka, akan ada dampak negatif yang serius," kata XI. "Mereka akan menghadirkan tantangan bagi stabilitas ekonomi dan keuangan global, dan negara-negara berkembang akan menanggung bebannya."
Bagi The Fed dan bank sentral negara maju lainnya, tugas utama mereka adalah menjaga perekonomian dalam negerinya dari masalah. Artinya menahan inflasi. Tapi mereka biasanya juga mengawasi dampak global dari rencana moneter mereka - paling tidak karena bisa menjadi bumerang buat mereka.
"Mandat utama mereka adalah mandat domestik," kata Carmen Reinhart, kepala ekonom Bank Dunia. "Tapi itu juga bukan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk mempertimbangkan kondisi internasional," Reinhart menambahkan.
Hanya perlu melihat enam tahun lalu untuk menemukan satu preseden, ketika The Fed terpaksa mengubah arah kebijakannya karena pukulan balik internasional akibat kebijakannya sendiri.
Pada bulan Desember 2015, bank sentral AS menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global, dan menandai empat kenaikan lagi untuk tahun berikutnya. Mereka menepis kekhawatiran tentang dampak penguatan dolar terhadap China.
Namun prospek pertumbuhan China yang memburuk memicu depresiasi tajam yuan dan aksi jual di pasar ekuitas lokal yang menyebar ke seluruh dunia. The Fed mundur, dan tidak menaikkan lagi sampai Desember 2016.
NAmun kondisi kali ini sudah banyak berbeda. The Fed dan bank sentral besar lainnya bereaksi terhadap serangan serius dari inflasi aktual, bukan terhadap kemungkinan bahwa inflasi akan tiba. Pengetatan mereka memiliki lebih banyak urgensi dan momentum.
Selain itu, meskipun EM jelas berada dalam kondisi yang sulit - dengan sedikit risiko gagal bayar - masalah utang mungkin cenderung tidak terakumulasi ke titik yang dapat membahayakan pertumbuhan global atau memicu gejolak pasar yang luas.
Suku bunga yang rendah di negara maju maupun negara berkembang, berarti ada ruang bagi mereka untuk naik sebelum kredit menjadi sangat terjepit. Reinhart menunjuk pada ledakan komoditas yang berlangsung sejak 2020, yang kontras dengan kemerosotan di pertengahan dekade terakhir.
"Bagi EM tidak ada dua sepatu, tapi ada tiga," kata Reinhart. "Ada suku bunga internasional, modal internasional, dan harga komoditas. Harga komoditas yang lebih tinggi sangat membantu."
Bagaimana China di bawah Xi Jinping, pengimpor komoditas besar-besaran, menavigasi siklus pengetatan The Fed akan menjadi sangat penting. Berusaha untuk menangkis krisis di pasar properti dengan  leverage  yang berlebihan, People's Bank of China telah memulai siklus pelonggaran - bergerak ke arah yang berlawanan dengan The Fed.
Sejauh ini, yuan tetap tangguh, dibantu oleh lonjakan ekspor dan arus masuk investor asing -- dan itu menawarkan dukungan untuk mata uang negara EM lainnya.
Di tempat lain di kawasan Asia-Pasifik, banyak investor tetap relatif  bullish  meskipun ada kegelisahan saat ini - sebagian karena negara-negara itu telah membangun pertahanan mereka sejak hantaman tahun 2013: mengumpulkan cadangan devisa, menyusutkan defisit neraca berjalan, dan mempertahankan kekuatan kebijakan moneter.
Meskipun pengetatan Fed secara historis cenderung buruk bagi EM, "kami berharap pertumbuhan di Asia terbukti lebih berkelanjutan," kata Damian Sassower, kepala strategi kredit EM untuk Bloomberg Intelligence. Dia menunjuk Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina dengan prospeknya yang menonjol.
Waspadai BEAST
Namun demikian mash ada titik rentan yang potensial. Amerika Latin adalah salah satu wilayah yang paling terpukul oleh pandemi dan telah mengalami banyak  default  utang. Brasil, ekonomi terbesar di kawasan itu, terperosok dalam resesi dan dilanda ketegangan fiskal dan politik.
Mungkin Turki lebih mengkhawatirkan lagi, karena Presiden Recep Tayyip Erdogan telah menggertak bank sentral agar menurunkan suku bunga bahkan ketika harga-harga melonjak tinggi. Beberapa bank Wall Street memperkirakan inflasi Turki akan mencapai puncaknya di atas 50% tahun ini - kenaikan yang berbahaya bagi negara dengan sektor bisnis yang menanggung beban berat utang berdenominasi dolar.
Selain kedua negara itu, riset Bloomberg Economics juga menempatkan Argentina, Mesir dan Afrika Selatan - dengan label BEAST - di bagian atas daftar yang paling rentan.
Mark Sobel, mantan pejabat Departemen Keuangan, kini ketua  think-tank  OMFIF AS, mengakui bahwa pengetatan The Fed akan berdampak pada EM. Menurutnya, ada banyak negara dengan "masalah idiosinkratik," yang akan menambah satu risiko besar.
"Tapi saya tidak melihat itu menciptakan masalah sistemik bagi ekonomi global saat ini," ujarnya. (Bloomberg)


Sumber : admin