Penjualan Ritel China Merosot, Saham dan Mata Uang EM Asia Melemah
Friday, August 14, 2020       13:58 WIB

Ipotnews - Penjualan ritel China yang secara tak terduga turun memukul bursa saham dan mata uang negara berkembang (Emerging Market/EM) Asia pada hari Jumat (14/8). Pelemahan ini seiring memudarnya harapan bahwa China dapat memulihkan ekonomi akibat krisis pandemi corona secara cepat.
Sejumlah mata uang negara berkembang Asia yang melemah siang ini adalah yuan, rupiah, ringgit, won dan dolar Singapura. Pelemahan terbesar dialami rupiah sebesar -0,47% dan won -0,23%, demikian laporan dari Reuters di Bengaluru.
Sementara mata uang Asia yang menguat siang ini adalah rupee, peso, dolar Taiwan, dan baht. Penguatan terbesar dialami dolar Taiwan 0,42% dan peso 0,18%.
Selain itu, bursa saham negara berkembang Asia yang melemah antara lain China, Malaysia, Fillipina, Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Thailand. Pelemahan terbesar dialami Korea Selatan yang terkoreksi -1,62%, disusul oleh Filipina yang terkoreksi 0,90%.
Bursa saham negara berkembang Asia yang menguat siang ini hanyalah India dan Indonesia. Bursa India menguat 0,41% dan bursa Indonesia menguat 0,05% pada siang ini.
Investor telah mengetahui data terbaru yang dirilis terkait perkembangan ekonomi China. Pertama muncul dari kebijakan lockdown untuk mengatasi pandemi corona sebagai indikator hal tersebut telah ditopang dengan cepat tetapi penjualan ritel periode Juli secara tak terduga turun dan output produksi meleset dari perkiraan.
Pasar Asia paling terpengaruh dengan turunnya permintaan China dan arus perdagangan global yang menurun tajam. Pasar saham Korsel turun 1,6 persen. Sementara Bursa Kuala Lumpur dan Bangkok terpangkas 0,7 persen.
"Saya akan mengatakan ini lebih merupakan reaksi," kata Julian Wee, ahli strategi investasi di Credit Suisse di Singapura, merujuk pada penurunan penjualan ritel China.
"Data secara keseluruhan menunjukkan bahwa pelonggaran lockdown masih berjalan mulus di Asia Utara dan kewaspadaan pihak berwenang di China dan Korea menunjukkan pembalikan yang berarti dari pelonggaran lockdown, tidak mungkin terjadi," ujar Julian.
Data dari Malaysia juga menunjukkan produk domestik bruto menyusut lebih dari yang diharapkan pada kuartal kedua. Hal ini merupakan kontraksi terburuk dalam lebih dari dua dekade terakhir.
Walaupun bank sentral Malaysia mengatakan kemungkinan terburuk sudah berakhir. Bank Negara Malaysia memperkirakan ekonomi nasional akan berkontraksi antara 3,5% dan 5,5% tahun ini, sebelum bangkit dan kembali tumbuh antara 5,5% dan 8% pada 2021.
Pelaku pasar juga tetap berhati-hati menjelang pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat dan China pada hari Sabtu (15/8), di saat hubungan antara keduanya sedang merenggang dan menjelang pemilihan presiden AS yang semakin dekat.
(Adhitya)

Sumber : Admin

berita terbaru