Ipotnews - Departemen Keuangan AS memasukkan beberapa negara Asia Tenggara dalam daftar pantauan sebagai manipulator mata uang. Laporan semi-tahunan yang dirilis di Washington, Departemen Keuangan AS menyebutkan 10 negara yang mungkin menggunakan nilai tukar mereka untuk mendapatkan keuntungan ekspor terhadap AS. Tiga dari 10 negara adalah yaitu Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Washington setidaknya menerapkan tiga kriteria untuk masukkan sebuah negara dalam daftar pemantauan sebagai manipulator mata uang. Negara yang masuk dalam ke dalam dua dari tiga kriteria akan masuk ke dalam daftar pemantauan.
Pertama, surplus perdagangan barang 12 bulan dengan AS setidaknya mencapai USD20 miliar. Kedua, surplus neraca transaksi berjalan mencapai sedikitnya 2 persen dari PDB. Ketiga, secara gigih melakukan intervensi mata uangnya hingga setara 2 persen dari PDB selama enam bulan dalam setahun.
Sesuai ketetapan yang mereka buat, Departemen Keuangan AS akan mempertahankan keberadaan suatu negara dalam daftar pemantauan, setidaknya selama dua laporan berturut-turut sejak pertama kali dimaskkan ke dalam daftar. Karena ketetapn itu, Singapura, Malaysia, dan Vietnam dipertahankan pada daftar yang disusun sejak Mei 2019 itu.
Laporan terbaru Departemen Keuangan AS antyara lain menyatakan, Vietnam telah melanggar satu dari tiga kriteria, turun dari dua kriteria pada Mei lalu.
Thailand, yang berisiko ditambahkan ke dalam daftar pemantauan, justru tidak disertakan. Biro Sensus AS menyatakan surplus perdagangan barang Thailand dengan AS melonjak melewati angka kritis USD20 miliar dalam 12 bulan hingga November, sedangkan surplus transaksi berjalannya melebihi 2% dari PDB.
Bank of Thailand juga dinilai telah melakukan intervensi di pasar mata uang untuk mengerem laju baht setelah naik hampir 9% terhadap dolar tahun lalu, terbesar di Asia.
Namun Gubernur Veerathai Santiprabhob menyatakan, bahwa langkah tersebut tersebut tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekspor dari mitra dagangnya. Wakil Gubernur Mathee Supapongse menegaskan, bahwa otoritas keuangan tidak akan "berpuas diri", setelah terhindar dari daftar pantauan Departemen Keuangan AS
Ia menekankan, "akan terus mengawasi dan mengelola mata uang dengan cermat," ujarnya kepada wartawan, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (14/1).
Menanggapi status Singapura dalam laporan tersebut, Otoritas Moneter Singapura merujuk pada pernyataan Direktur Pelaksana Ravi Menon Juni lalu yang menyatakan, bahwa pihaknya telah "berdialog aktif dengan Departemen Keuangan AS untuk memastikan bahwa kerangka kerja kebijakan moneter kami, dan peran operasi intervensi valuta asing telah dipahami dengan baik."
Berikut adalah penilaian kebijakan mata uang negara-negara Asia Tenggara dalam laporan Departemen Keuangan AS, berdasarkan data hingga Juni 2019:
- Indonesia dan Filipina: Sama sekali tidak disebutkan dalam laporan
- Thailand: Tidak disebutkan dalam daftar pantauan, meskipun disebutkan hampir memicu ambang kristis, dan memenuhi salah satu kriteria dengan surplus neraca berjalan diperkirakan sebesar 5,3% dari PDB
- Singapura: Melanggar dua dari tiga kritesia, dengan surplus neraca berjalan diperkirakan sebesar 17,9% dari PDB dan pembelian devisa neto sebesar 9% dari PDB. Departemen Keuangan AS masih mempertanyakan tingkat tabungan yang tinggi, namun mengakui bahwa bank sentral menggunakan nilai tukar mata uang asing daripada tingkat bunga sebagai alat kebijakan utama.
- Malaysia: Melangara dua dari tiga kritesia, dengan surplus barang bilateral USD26 miliar dan surplus transaksi berjalan 3% dari PDB.
- Vietnam: Melanggarsatu dari tiga kritesia, dengan surplus barang bilateral USD47 miliar, tertinggi keenam di antara mitra dagang utama AS. Namun surplus transaksi berjalan Vietnam melemah hingga di bawah 2% dari PDB. (Bloomberg).
Sumber : Admin