Kasus Suap Lippo Memperbesar Tekanan di Pasar Obligasi
Friday, October 19, 2018       18:08 WIB

Ipotnews - Kasus dugaan suap dalam proses pembebasan tanah proyek properti Meikarta, milik Lippo Group menimbulkan pertanyaan investor akan kemungkinan tertangkapnya lebih banyak lagi petinggi perusahaan dalam operasi pemberantasan korupsi.
Kasus yang melibatkan perusahaan besar ini, dikhawatirkan akan menimbulkan tekanan lebih besar pada pasar surat utang korporasi, yang telah mengalami pukulan keras akibat pelemahan rupiah dan tekanan kenaikan suku bunga. Sementara itu, sejumlah besar obligasi korporasi akan mengalami jatuh tempo pada tahun mendatang, dan sebagian diantaranya memerlukan pendanaan kembali.
"Mungkin ada implikasi yang lebih luas karena menimbulkan pertanyaan tentang kondisi tata kelola perusahaan sehingga menjadi fokus lagi," kata Charles Macgregor, kepala  emerging market  di Lucror Analytics Pte di Singapura. "Perusahaan-perusahaan Indonesia mempunyai nilai buruk untuk masalah ini. Dorongan pemerintah untuk menindak korupsi bisa memunculkan kasus lain," imbuhnya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (19/10).
Sepanjang tahun ini, nilai obligasi dolar yang diterbitkan perusahaan Indonesia telah turun 6 persen. Penurunan tersebut jauh melebihi rata-rata penurunan untuk semua surat utang berimbal hasil tinggi dalam indeks ICE BofAML Asia, sebesar2,8 persen. Sedangkan untuk obligasi dolar Lippo Karawaci, penurunannya lebih besar lagi, melampaui 25 persen.
S&P Global Ratings, Rabu lalu mengungkapkan, Lippo Karawaci menghadapi masalah likuiditas dan arus kas selama 12 bulan ke depan akibat penyelidikan tersebut. Menurut S&P, sebagian besar hutang perusahaan holding Lippo Karawaci dalam dolar AS, sementara arus kas operasi sebagian besar dalam rupiah.
Laporan Moody's bulan Juni lalu mengungkapkan, Lippo Karawaci adalah satu dari empat perusahaan Indonesia yang memiliki masalah ketidaksesuaian kurs yang signifikan dalam utang mereka. Upaya lindung nilai dari gejolak nilai tukar mata uang asing, kata Moody's, menjadi tidak efektif ketika kurs dolar AS melewati Rp15.000.
Tuduhan penyuapan itu, "semakin menambah sengsara perusahaan, yang sudah sempoyongan karena masalah arus kas, tekanan likuiditas dan eksposur mata uang," tulis R. Lakshmanan, analis riset senior CreditSights, dalam laporannya Selasa lalu. (Bloomberg/kk)

Sumber : Admin

berita terbaru